Aku Mendengar Suara Domba yang Membisu


Barangkali kuntum-kuntum putih tak meluruh jendela kamarmu,
meski ladang gandum tetap bermain angin. Hembusnya berlarian
dari bukit-bukit bernafas musik ribuan tahun.

Musik rindu yang mengalahkan kepak sayap burung,
terbang dari danau ke pucuk cemara. Di sana ia bergema memanjang
serupa gaung lonceng berpindah dari misbah Gereja
mengusap-usap telingamu. Juga tubuhmu. Juga hatimu.

Suaranya membangunkan domba-domba yang membisu
meniup kelok sungai yang kali ini tanpa biru beku,
“Kita tak perlu berkemas dengan sepatu berpisau
untuk berdansa di pinggir danau,” bisik angsa-angsa kepadaku
agar membangunkan dirimu.

Bukankah danau itu masih di sana?
Menyimpan pantulan pegunungan hijau-kelabu. Gunung yang nampak
puncaknya dari jendela rumah. Tempatmu dahulu memeluku
saat api tungku hilang hangatnya.Dan lilin-lilin redup nyalanya.
“Ada musim panas yang kau simpan diam-diam,” angsa-angsa itu
berbisik lagi, bersama kesiur angin manja Desember.

Dan ujung tahun ini bukan lembar perkamen terakhir,
belum langkah kita terjejak pasir pantai biru toska ,
belum pula pada jalan setapak di lembah terindah.
Pada padang bunga matahari, kota-kota yang terapung di atas air,
tari-tarian perkusi di pedalaman, juga gua bercahya bebatuan opal.
“Jalan permulaan dari peta bulan madu,” ucap lebah dan kupu-kupu.

Sementara, kembang api percik letusan akan membahana
mengedipkan cahaya sekejap,
pertanda hari-hari baru sebentar lagi datang bertalu-talu .
Sebagian tlah hinggap pada dinding kayu kusam tanpa lukisan
dalam ruang berdebu dan hampa,
sekosong tubuh dan jiwaku menggigil dalam kesendirian.
Serupa domba-domba yang membisu.

Meski pohon-pohon Natal tlah terang berlampu bintang,
berselimut rupa-rupa hiasan nada syahdu menyeruak
hingga rumah-rumah di tengah kota. Lantunnya terdengar
dari tungku api sebelah bangku kayu, tempatku kini duduk
mengenangmu serupa gadis korek api dalam kisah dongeng
yang pernah kau bacakan padaku .

Tak pernah rindu ini menyapa sedemikian rindunya
melumat segala rasa: segala yang tampak maupun yang tidak.
Dan tak pula mampu menghentikan orgel berkisah
tentang perjalanan yang masih menunggu kita,
dengan segala benang kehidupan akan kita rajut bersama
menjadi layar kembang cinta. Hingga tak membiarkan cinta itu
menguncup begitu saja (toh angin tak pernah membujuknya).

Domba-domba itu masih membisu
namun bukan berarti enggan mereka bicara:
tentang seberapa banyak warna dapat kita lukis
bersama. Pada langit yang masih menunggu
tanpa pernah ragu, juga tak kenal waktu.

“Mereka pasti akan bersama, menari-nari di sana,sesukanya,”
angsa-angsa itu berbisik kembali,
lalu pergi menjauh,
sebagian mengepak sayapnya,
meninggalkan domba-domba itu melangkah.
Seperti berjalan dari Yeriko ke Yerusalem.

Barangkali kuntum-kuntum putih tak meluruh jendela kamarmu,
meski ladang gandum tetap bermain angin. Hembusnya berlarian
dari bukit-bukit bernafas musik ribuan tahun.

Aku mendengarnya. Aku mendengarnya, Sayangku…

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar