Nah Lho!
Kuntum-Kuntum Bening
: Kepadamu yang setia memandangi jubah kelabu tempat sembunyiku…
Telah lama kuperhatikan dirimu yang senantiasa menanti hadirku. Pijar
bola matamu saat melihat jubahku dari kejauhan adalah isyarat bagiku
untuk segera menemuimu. Sekiranya kita mampu bertemu, tentu saja telah
kubisikkan banyak kisah padamu. Namun kali ini biarkan sahabat sejatiku
yang bercerita, berbisik pelan-pelan sambil mempermainkan anak-anak
rambutmu. Ia banyak tahu tentangku, pun aku telah berbagi padanya.
***
Sepenggal Kisah Masa Lalu
.
Jika saja taman mungil itu masih di sana, tentu aku sudah semenjak tadi
menangkap capung-capung yang kerap beterbangan di sana. Capung-capung
berwarna hijau dan kuning, bersayap bening, mengayuh udara, seolah
berenang di angkasa. Kadang bersembunyi di balik ilalang, warnanya
tersamar dengan bunga rumput yang tumbuh liar. Pelangi yang hinggap di
cakrawala, membuat capung-capung datang semakin banyak, berputar-putar
mencari sejumput keindahan yang menari di sore hari. Beberapa ekor mulai
mencari pasangan, berkejaran dan tidak mau kalah oleh kehadiran para
kumbang.
Jika saja taman mungil itu masih di sana, tentu aku sudah mengajakmu ke
sana, mencoba menangkap capung yang terbang dengan tangan kosong. Dan
tentu saja tak seekorpun tertangkap genggaman kita, capung-capung itu
sungguh lincah, justru kitalah yang diajak berputar mengelilingi taman,
menjenguk kesederhanaan suka cita. Sebagian batang ilalang rebah karena
lari langkah kakimu yang kecil, namun tumbuhan itu tak mengeluh atau
mengaduh, aku lihat sejenak mereka bangkit kembali. Sesudah kaki-kakimu
menjauh. Sementara tanganmu masih menggapai mahluk yang berenang ria di
angkasa jingga.
Kesepian Kita
Kamu bercerita tentang malam, namun aku
merasa kini kita mulai menjauh. Tapi entah kenapa hati kita begitu tetap
merekat luluh. Mirip dua sayap kunang-kunang yang biasa kita lihat saat
kita bermain di antara ilalang, di bawah tebar gemintang jauh. Kau
sering mengajaku berlarian di sana lalu merebah di sebelah pepohonan,
menatap angkasa malam dan rembulah separuh. Ingatkah kamu, ada satu dua
daun yang jatuh? Dan kamu bilang pohon itu melepas sauh. Agar kita tak
pernah kemana-mana menjauh. Agar kita tetap di sana, saling melihat
rembulan dan membuang jauh-jauh aneka keluh.
Aku pikir bau tubuhmu mungkin
kulupa, namun lekukmu tak hilang dari setiap indra perasaku, bukit
dadamu yang mulai tumbuh dan desahmu bagai memanggil sang rembulan. Dan
kamu berbisik kembali, sini kuceritakan satu kisah. Kemarin, aku
melihatmu senyum manis sekali. Kita lama bercerita. Bercerita tentang
apa saja tanpa jeda. Cerita tentang kamu. Tentang aku. Cerita tentang
kita. Tentang cinta. Semua bak nyata.
Kunang-kunang membawa lentera,
menjadi rinai cahaya di tengah purnama. Dan kamu tertawa setiap
kunang-kunang itu terbang di wajahku.
Aku, Kau dan Pelangi
.
Merah
Aku sering bertanya dalam hati, kenapa pelangi hanya timbul, saat reda
hujan? Ingin lihat pesta warna di langit, harus menunggu mendung. Lalu menanti air jatuh dari langit. Masalahnya jika hujan sore hari dan petang baru
usai rintiknya, pelangi tak kan datang. Direngut sinar rembulan dan gelap
malam. Pelangi itu semu, tak dapat di pegang, diraih, apalagi dibawa pulang.
Namun aku suka, meski semu, aku begitu menyukainya.
Jingga
Ini tentang mimpiku semalam, mimpi tentang pelangi yang menari-menari
merayakan kemenangan usai gerimis hujan. Tak pernah ia menyesal bahwa hadirnya
hanya sekejap saja dalam mewarnai bumi.Tak pula ia merutuki gerimis dingin yang
mencipta gugu dan gigil.Tidak juga mencaci mentari yang hanya mampu sementara
membiaskannya. Karena yang ada hanya rasa syukur pernah menjadi pelangi, pernah
memesona dunia dengan berbagai warna indahnya.
Dia adalah Chika
.
.Dia adalah Chika
Menjadi cerdas itu biasa, menjadi pintar itu juga biasa. Kebetulan seluruh siswa sekolah itu memang anak-anak yang pandai. Nah, masalahnya adalah menjadi juara kelas dan juara SMA bukan hal gampang. Bisa naik kelas atau lulus saja sudah untung.
Dari sekian banyak siswa ada satu anak yang paling menonjol nilai-nilainya. Menjadi cerdas itu biasa buat cewek berambut sebahu, periang dan banyak temannya. Dia bukan tipe serius apalagi kutu buku, sebagaimana layaknya anak lain, dia juga gemar bermain, ngobrol ngalor ngidul dan tentu saja aktif dalam kegiatan pelajaran ekstra kurikuler.
Coklat Hati Segi Empat
Gue nggak mau pacaran sama seniman, egois. Mau seganteng apa mukanya, gue nggak mau. Yang dipikirin cuma kerjaanya, temen-temennya sama lamunanya doang. Mau ditaruh dimana gue-nya? Emang, dia enak diajak omong, enak diajak jalan, nongkrong di café. Gue lupa waktu kalau berduaan sama dia, ada aja yang kita omongin, ada aja yang gue bikin betah. Emang, dia tuh pendengar yang baik, kalau gue curhat pasti didengerin, di situ gue senengnya. Eh, gue seneng? Nah lho…
Kemarin pas ke rumah, dia bisa tuh ngobrol ama nyokap, jarang-jarang tauk, ada cowok bisa ngobrol ama nyokap gue, secara dia galak banget biasanya. Apalagi sama temen-temen cowok gue. Gile nggak? Kalau bokap sih nyantai aja, nggak terlalu banyak komentar soal dia. Cuma aja rada keberatan sama rambut gonjesnya itu. Hahaha, justru itu kok yang aku suka, nggak tau kenapa. Padahal awul-awulan gitu kaya daun cemara kusut. Kemarin gue beliin sisir, gue taruh di dashboard-nya dia, biar agak rapi, secara orang-orang suka ngeliatin kalo kita nonton. Lho kok gue mulai perhatian ya? Weeew…
Dinda dan Aku
Aku pikir, batang flamboyan di depan kelas itu tak lagi bersahabat dengan kita. Buktinya seringkali menjatuhkan rantingnya yang kecil dan kering, saat aku dan Dinda duduk dibawahnya. Dan ranting kering itu seringkali melayang sebentar, seperti menari-nari tertiup angin. Ya betul menari-nari, meliuk perlahan, berputar, melayang lagi lalu jatuh tepat di atas kepala kita. Dinda hanya tersenyum, sementara aku tertawa sambil menengadah, jangan-jangan ada lagi ranting yang iseng mengganggu.
Memang cuma sebatang ranting, namun sanggup menghilangkan aneka lamunan dan membebaskan imaji menguap keangkasa. Dan ini masalahnya, dari mana tadi kita mulainya? Coba kamu ulangi lagi, aku lupa, aku terlalu konsen sama ranting-ranting itu. Dan genggaman tangan kita terlepas, aku membersihkan rambut Dinda dari ranting kecil nakal yang kerap mengganggu.
Di Kafe Itu
Di kafe itu,
bangku-bangku dingin menyerap cerita
tentang kamu, tentang aku.
Meja-meja beralas jejak celoteh
tentang kita, tentang mimpi kita.
Melodi melankolik menitik
bagai baris gerimis menerpa jendela
yang kini tertutup gorden kembang kuncup,
kelopaknya membekuk masa
yang terlewat mengatup
kedua bilah bibir kita, pun kedua bilik hati kita.
Si Keling Merah
Hujan baru saja reda, setelah beberapa saat membasahi sebuah dusun tua. Air menggenangi beberapa empang, kolam ikan dan menderas aliran sungai-sungai. Pepohonan segar berseri, daunnya tersenyum menampung tetesan air. Pelangi terbit di ufuk timur, mewarnai barisan bukit, mirip goresan kelir pinsil pada langit yang kini membiru setelah ruah hujan meninggalkan bumi.
Di desa itu anak-anak gemar bernyanyi dan bermain di genangan air, beberapa anak lelaki kecil saling berkecipak hingga lumpur hinggap pada tubuh telanjang dada teman-temannya. Mereka tertawa-tawa, berlompatan riang sambil mendendang lagu tentang pelangi dan berkah hujan. Bagi masyarakat desa itu datangnya air dari langit pertanda padi akan menyubur, kebun buah-buahan mulai meranum, sekelompok burung mulai beterbangan, meramai suasana desa .
Selagi mereka bergembira, ada seorang anak bernama Nako yang tidak turut bermain dilapangan bertebar lumpur. Ia menimang-nimang perahu kertas warna merah, buatanya sendiri ketika hujan tadi sedang melebat. Sudah lama bocah laki-laki itu menunggu saaat seperti ini, baginya selipat perahu kertas adalah impiannya, seolah mewakili keinginannya untuk berlayar mengelilingi dunia.
Belanga Cinta
pada sosok yang dianggap tak berdaya
ia yang dipanggil namanya pada setiap doa
pada tubuh yang kerap hanya dilihat kulitnya
di sanalah dulu aku berada…
.
ia membaca larik lantun pelangi
nadanya lirih hingga langit Ilahi
sebaris harapan tentang rahimnya
di sanalah dulu aku sejuk berdiam…
( kecup rindunya bagai malaikat mayapada, membawa melati di sutra selendangnya )
Sang Ayu
Siang-siang, aku berharap pedagang cendol lewat. Biasanya sehabis duhur melintas depan rumah. Namun sudah lima minggu tidak terdengar denting belnya. Ting-ting, ting-ting, meggugah dahaga. Cendol legit lembut, gurih santan. Manis merah gula, bercampur nangka. Serutan es menambah sejuk mulut, melega kerongkongan. Siang-siang ini, belum juga lewat.
Ting-ting, ting-ting. Gerobak cendol biru terang, rodanya terus bergerak. Sejarak yang ditempuh, ting-tingnya bergoyang pula. Anak-anak kecil sering mengerumuni, saat singgah di depan sekolah. Sebagian meminum langsung cendolnya, beberapa minta dikemas plastik bertali sedotan. Sebagian bayar, beberapa belum. Satu di antaranya membayar dengan uang logam. Lalu terjatuh kedalam wadah cendol.
Mbak Inah, gadis penjual cendol, menulis logo pada gerobaknya. DAWET AYU, begitu tulisannya. Seayu mbak Inah, semanis merah gula. Jika lewat jalan depan rumahku, beberapa pengemudi taksi yang mangkal bersiul jahil. Melihat geyal-geyol mbak Inah, mendorong gerobak dawet. Suit-suit…
Jejak Cinta Tadi Malam
Ini pagi. Dingin. Mendung. Malas mandi. Buka laptop. Selamat pagi dunia. Sudah bangun cantik-ku? Ini pagi. Dingin. Mendung. Malas mandi. Buka laptop. Selamat pagi dunia. Niki, bangun dong sayang. Itu selimut membentuk lekuk badanmu. Ini pagi. Dingin. Mendung. Malas mandi. Buka laptop. Aku tutup lagi. Selamat pagi dunia. Sebaiknya aku masuk kembali. Ke dalam selimut. Niki memang begitu. Sering menggoda, meski hanya lekuknya. Meski matanya, masih terpejam. Tetap menggoda.
Sayap Ikarus Sang Bidadari
Syahdan para bidadari kahyangan turun dari langit, sang dewi betara memberikan titah untuk menjenguk bumi. Tugasnya menemani insan manusia yang hatinya dirundung sepi. Lalu menyubur tanah, menyapa laut dengan salam cinta. Menemui gunung memberi larva, agar hidup menjadi paku bumi. Titah sang dewi disertai bisikan tentang rentang waktu. Para bidadari diberi sepasang sayap ikarus, dimana akan hilang fungsinya apabila terlalu dekat dengan mentari. Satu diantara mereka, pernah datang menemuiku, beberapa jaman yang lalu…….
.
Aku mengenangmu. Seperti mengenang hutan. Dedaunan, lebat rindang dan menjangan. Langkah kakimu seperti anak menjangan mencari air. Kaki kecil dan muda, dulu aku suka memeluknya. Rebahan bersama bantal dan aneka lelah. Betapa indah kakimu, sanggup menghadirkan tidur, mengenyahkan gelisah. Dan aku sejenak terlupa akan masa, seolah planet ini berhenti berputar. Bumi hilang gravitasi, melayang dan melayang. Terbang ke awang.
Obladi Oblada
Waktu saya masih memakai seragam putih biru, saya tidak menyukai matematika. Meski pelajaran penting, buat saya tidak ada gunanya. Saat itu saya masih bercelana pendek dan membenci eksakta, rumus pitagoras hanya tertulis di papan kelas. Saya tidak tertarik logaritma, tapi menyukai satra dan seni suara. Buku tulis hanya buat daftar lagu berikut kord gitar, guru matematika hilang akal, katanya masa depan saya terancam suram.
(Dua belas tahun silam, dan masih terbayang hingga kini. Wajah-wajah muda, tanpa luka tanpa lara.)
Waktu saya masih memakai seragam putih biru, saya benci matematika, tapi menyukai gadis teman sebangku. Namanya Dinda, wajahnya manis dan terang kulitnya. Ia mencintai eksakta, gemar kimia namun membenci sastra dan seni suara. Pohon flamboyan tumbuh di depan kelas, tempat saya dan Dinda membuat PR bahasa. Guru kimia hilang akal, katanya masa depan kita terancam cinta buta. Pohon flamboyan bergoyang kekiri kekanan, tertiup angin pubertas, musim beranjak dewasa. Tiba-tiba, Dinda memberi secarik kertas, -baca di rumah- begitu pintanya. Seekor kupu-kupu melintas, kuning warna sayapnya, menebar aura pancaroba.
(Dua belas tahun silam, dan masih terbayang hingga kini. Beberapa masih menyimpan kenangan, beberapa menguap ke cakrawala.)
Pipi Merah Jambu
Bangun tidur. Mandi. Rokok. Kopi. Ngetik fiksi. Bikin prosa apa? Bangun pagi. Mandi. Rokok. Kopi. Ngetik fiksi. Tidak ada roti. Bubur ayam-pun boleh deh. Bangun. Ngetik. Ngopi. Ngetik. Sebelahku Niki, dia datang pagi sekali. Aku bilang sama Niki, nggak ngantor hari ini. Semua kerjaan sudah kukirim via email. Niki menemaniku membuat fiksi.
Bangun. Mandi. Niki bikin kopi. Ngetik fiksi. Dia belum mandi, katanya. Hah, jam segini?…buruan sana. Kenapa juga nggak mandi dari rumah? Pinjem handuk. Niki mandi. Aku ngetik. Sambil ngopi. Kenapa juga, nggak mandi dari rumah? Sibuk nih. Bikin prosa apa? Niki Mandi. Pikiranku ada di kampung fiksi. Mana masih ngantuk. Mana masih pagi. Halaaah….muter CD dulu. The Beatles. Ok?….Let it Be.
Melukis Bayangan
Ujian lulus SMA usai, pesta merayakannya telah digelar seminggu lalu. Corat coret seragam putih kelabu dan konvoi sorak sorai di jalan, menjadi kenangan.Yang lanjut kuliah berangkat ke bimbel. Semuanya sibuk berburu universitas favorit . Hanya Sarah yang masih diam di rumah, cita-citanya ingin jadi dokter kecantikan sepertinya harus dikubur dalam-dalam. Sarah selalu terobsesi untuk cantik dan ingin membuat indah wajah orang lain. Tapi itu hanyalah angan belaka, uang darimana untuk membiayai studi keinginannya. Ibunya hanyalah penjahit biasa, di sudut gubuk sebuah desa.
Jika memaksa kuliah mungkin Ibu menyanggupi. Karena belakangan ini, ibu memperoleh pesanan banyak dari tetangga. Namun dia harus merelakan ketiga adiknya putus sekolah. Rasanya tidak adil mengorbankan masa depan mereka demi mimpinya. Mungkin lebih baik seperti Kak Wati, bekerja saja meski cuma buruh biasa.
Sarah termenung di kamarnya, poster-poster artis lokal dan mancanegara memenuhi dinding bambu di kamar sangat sederhana itu. Matanya menerawang jauh, tangannya mengelus satu-persatu gambar itu. Wajah cantik BCL membuatnya iri, foto keren Justin Bieber membakar semangatnya, dan mata tajam Avril Lavigne membuatnya cemburu. Ingin bisa seperti mereka itu. Jadi artis, jadi selebritis.
Miyabi
Kamu bilang mau pergi, say bye-bye
Meski sepi rindu menyelinap denting kalbu
meninggalkan kenangan dalam secangkir kopi pahit
Kamu bilang mau pergi, say bye-bye
(kimonomu dirajut benang sutra tertinggal di atas ranjangku)
.
Pergilah kamu lima juta tahun cahaya
Lempar semua kenangan cium mesra
Bau dupa tubuhmu sudah kulupa
Kamu bilang mau pergi say bye-bye
(soba sudah dingin, aku enggan menyentuhnya lagi)
.
C’est La Vie
bunga rumput rebah bersama sejuk
kulukis kau wahai hati gadis di antara rumah bambu
kupu-kupu menari terbawa semilir angin
warnanya berdansa gelisah terdampar di bawah cemara
(Je ne comprends pas le sens de l’amour… il est juste d’accord?)
.
jika suatu saat kau hadir, mengusir sepiku
bawalah aku ke tempat terindahmu
tempat yang biasa kau sebut dengan hatimu
di mana hanya aku bertahta di situ
.
awan berlari mengitari bulan pualam
burung malam melintas bagai bayangan mimpi
terbanglah sedu sedanmu kasih
bukankah aku sedang merenda jala cinta
.
jika suatu saat kau hadir, berpuisi untukku
ciptakanlah puisi seperti sifat rohku
sekedar untuk menyakinkan tepian hatiku
bahwa kau mengerti tentang diriku
( Rumpun kunang - kunang, membaur di udara desa … malam merayap wangi)
.
Sayap Merpati
Pagi ini Nindi termenung membaca sms di ponselnya. Jantungnya berdebar keras, sekelumit galau singgah di hatinya. Ia tidak mengira selama ini, Profesor Ratno, dosen yang mengajarnya memberi perhatian lebih. Nindi, gadis manis dan cerdas, namun beberapa kali gagal membina hubungan dengan pemuda seusianya. Bukan karena dia pemilih, manja atau centil, hanya saja ia merindukan sosok seorang ayah sebagai kekasih. Dewasa, sabar dan mapan.
Begitulah yang ia cari selama ini. Apakah ia harus membalas sms ini? Sekilas bayangan pria setengah baya melintas di benaknya. Wajah tampan dengan penampilan elegan. Kemeja lengan pendek tak pernah lupa dipadukan dengan dasi serasi berkalung di lehernya. Senyumnya menawan. Nindi tak mungkin menafikan kharisma beliau. Siapa sih di kampus ini yang tidak terpukau pesona Pak Ratno?
Pramugari
Di sini
Saya dipekerjakan. Bertaruh kehidupan dengan berjalan mondar-mandir diantara penumpang, tak jarang hidung belang. Merelakan dibayar untuk melayani dan tak jarang ditodong untuk melayani. Suap nasi untuk ibu dan adik ditentukan di atas sini.
Lalu
Beberapa penumpang menatap kearah dada saya. Menanyakan nomor ponsel adalah hobi beberapa lainnya. Sebagian mengajak saya kencan. Ada pula yang langsung sodorkan proposal pelaminan. Bertanya, ada apa dengan badan saya, wajah saya atau senyum saya?
Mungkin
Karena mereka pria. Mungkin karena kebanyakan dari mereka buaya. Mungkin rok saya yang ukurannya setengah paha mengundang isi celana mereka untuk menyapa.
Niki Seksi
Kangen pacar. Telpon dia. Tidak menyahut. Trus mau apa? Kangen pacar. Telpon lagi. Tidak menyahut. Mending mandi. Mending ke Café. Aha…terbayang cappuccino. Kangen pacar. Lupakan dulu. Masih ada sahabat. Mending ke Café. Sekedar curhat. Namanya juga sahabat. Namanya Niki. Meski cewe. Sekedar curhat. Meski cewe. Justru cewe. Nggak deh kalau cowo, besok aja buat omong seni, politik, sepak bola!
Kangen pacar. Telpon dia. Tidak menyahut. Malah pergi sama Niki. Mending ke Café. Dua cangkir cappuccino. Sekedar curhat. Melewati malam. Sama Niki yang seksi. Sebentar, ini masalah fashion bukan urusan mesum. Ini masalah seni yang tidak masuk museum.
Sekedar curhat. Dua cangkir cappuccino. Teras Café. Niki seksi sekali. Namanya juga sahabat. Meski cewek. Meski Seksi. Namanya juga anak muda. Niki seksi sekali. Teras Café. Agak sepi. Melewati malam. Musik Jazz menemani. Alunan suara Norah Jones . Kangen pacar. Lupakan dulu. Teras Café. Suara Norah Jones. Love Me Tender. Sayup-sayup. Orang lalu lalang, buat apa peduli….ehm , Love Me Tender, kesukaan aku sama Niki.
Langganan:
Postingan (Atom)