Pipi Merah Jambu





Bangun tidur. Mandi. Rokok. Kopi. Ngetik fiksi. Bikin prosa apa? Bangun pagi. Mandi. Rokok. Kopi. Ngetik fiksi. Tidak ada roti. Bubur ayam-pun boleh deh. Bangun. Ngetik. Ngopi. Ngetik. Sebelahku Niki, dia datang pagi sekali. Aku bilang sama Niki, nggak ngantor hari ini. Semua kerjaan sudah kukirim via email. Niki menemaniku membuat fiksi.

Bangun. Mandi. Niki bikin kopi. Ngetik fiksi. Dia belum mandi, katanya. Hah, jam segini?…buruan sana. Kenapa juga nggak mandi dari rumah? Pinjem handuk. Niki mandi. Aku ngetik. Sambil ngopi. Kenapa juga, nggak mandi dari rumah? Sibuk nih. Bikin prosa apa? Niki Mandi. Pikiranku ada di kampung fiksi. Mana masih ngantuk. Mana masih pagi. Halaaah….muter CD dulu. The Beatles. Ok?….Let it Be.

Melukis Bayangan




Ujian lulus SMA usai, pesta merayakannya telah digelar seminggu lalu. Corat coret seragam putih kelabu dan konvoi sorak sorai di jalan, menjadi kenangan.Yang  lanjut kuliah berangkat ke bimbel. Semuanya sibuk berburu universitas favorit . Hanya Sarah yang masih diam di rumah, cita-citanya ingin jadi dokter kecantikan sepertinya harus dikubur dalam-dalam. Sarah selalu terobsesi untuk cantik dan ingin membuat indah wajah orang lain. Tapi itu hanyalah angan belaka, uang darimana untuk membiayai studi keinginannya. Ibunya hanyalah penjahit biasa, di sudut gubuk sebuah desa.

Jika memaksa kuliah mungkin Ibu menyanggupi. Karena belakangan ini, ibu memperoleh pesanan banyak dari tetangga. Namun dia harus merelakan  ketiga adiknya putus sekolah.  Rasanya tidak adil mengorbankan masa depan mereka demi mimpinya. Mungkin lebih baik seperti Kak Wati, bekerja saja meski cuma buruh biasa.

Sarah termenung di kamarnya, poster-poster artis lokal dan mancanegara memenuhi dinding bambu di kamar sangat sederhana itu. Matanya menerawang jauh, tangannya mengelus satu-persatu gambar itu. Wajah cantik BCL membuatnya iri, foto keren Justin Bieber membakar semangatnya, dan mata tajam Avril Lavigne membuatnya cemburu. Ingin bisa seperti mereka itu. Jadi artis, jadi selebritis.

Miyabi


Kamu bilang mau pergi, say bye-bye
Meski sepi rindu menyelinap denting kalbu
meninggalkan kenangan dalam secangkir kopi pahit
Kamu bilang mau pergi, say bye-bye
(kimonomu dirajut benang sutra tertinggal di atas ranjangku)
.
Pergilah kamu lima juta tahun cahaya
Lempar semua kenangan cium mesra
Bau dupa tubuhmu sudah kulupa
Kamu bilang mau pergi say bye-bye
(soba sudah dingin, aku enggan menyentuhnya lagi)
.

C’est La Vie






bunga rumput rebah bersama sejuk
kulukis kau wahai hati gadis di antara rumah bambu
kupu-kupu menari terbawa semilir angin
warnanya berdansa gelisah terdampar di bawah cemara
(Je ne comprends pas le sens de l’amour… il est juste d’accord?)
.
jika suatu saat kau hadir, mengusir sepiku
bawalah aku ke tempat terindahmu
tempat yang biasa kau sebut dengan hatimu
di mana hanya aku bertahta di situ
.
awan berlari mengitari bulan pualam
burung malam melintas bagai bayangan mimpi
terbanglah sedu sedanmu kasih
bukankah aku sedang merenda jala cinta
.
jika suatu saat kau hadir, berpuisi untukku
ciptakanlah puisi seperti sifat rohku
sekedar untuk menyakinkan tepian hatiku
bahwa kau mengerti tentang diriku
( Rumpun kunang - kunang, membaur di udara desa … malam merayap wangi)
.

Sayap Merpati




Pagi ini Nindi termenung membaca sms di ponselnya. Jantungnya berdebar keras, sekelumit galau singgah di hatinya. Ia tidak mengira selama ini, Profesor Ratno, dosen yang mengajarnya memberi perhatian lebih. Nindi, gadis manis dan cerdas, namun beberapa kali gagal membina hubungan dengan pemuda seusianya. Bukan karena dia pemilih, manja atau centil, hanya saja ia merindukan sosok seorang ayah sebagai kekasih. Dewasa, sabar dan mapan.

Begitulah yang ia cari selama ini. Apakah ia harus membalas sms ini? Sekilas bayangan pria setengah baya melintas di benaknya. Wajah tampan dengan penampilan elegan. Kemeja lengan pendek tak pernah lupa dipadukan dengan dasi serasi berkalung di lehernya. Senyumnya menawan. Nindi tak mungkin menafikan kharisma beliau. Siapa sih di kampus ini yang tidak terpukau pesona Pak Ratno?

Untukmu Anak Cincin Api






Di atas lingkaran ini, Cin
Cukup lama kau termenung menatap bumi yang tengah keropos

Palma, trembesi
Kenanga mendesir, berkesiur menjinjing aroma kamboja

Semua di sulap,
Menjelma batu, abu, arang, asapnya bikin peparu lubang
Bikin hati alergi.

Pramugari





Di sini
Saya dipekerjakan. Bertaruh kehidupan dengan berjalan mondar-mandir diantara penumpang, tak jarang hidung belang. Merelakan dibayar untuk melayani dan tak jarang ditodong untuk melayani. Suap nasi untuk ibu dan adik ditentukan di atas sini.

Lalu
Beberapa penumpang menatap kearah dada saya. Menanyakan nomor ponsel adalah hobi beberapa lainnya. Sebagian mengajak saya kencan. Ada pula yang langsung sodorkan proposal pelaminan. Bertanya, ada apa dengan badan saya, wajah saya atau senyum saya?

Mungkin
Karena mereka pria. Mungkin karena kebanyakan dari mereka buaya. Mungkin rok saya yang ukurannya setengah paha mengundang isi celana mereka untuk menyapa.