Leluk Tubuhmu


Tadi pagi, aku iseng. Nonton kamu tidur. Pagi belum sempurna, wajahmu ditelan bantal. Rokok, kopi dan aku masih iseng. Nonton kamu, sehabis semalam bercinta. Pagi belum sempurna, kicau burung masih beberapa. Embun masih beberapa dikulum daun, kecupku masih beberapa di sebagian lehermu. Aku iseng membuka selimutmu. Astaga. Kamu tanpa apa-apa.

Pagi belum sempurna, sebaiknya menunggu sebentar. Hingga matahari menembus jendela, hingga terangnya hinggap di atas ranjang. Kicau burung masih beberapa, hasrat ku juga masih beberapa. Ambil kamera, menunggu cahaya tepat, momen tepat. Sementara kamu belum bangun. Sementara kamu belum membuka mata. Perlahan kubalikan tubuhmu, ini dia momen tepat. Sinar empat lima derajat, sudut istimewa. Lensa digital tanpa suara, merekam lekukmu. Merekam bias cahaya, juga tanpa suara.

Hantu Lantai 13


Akhirnya kantorku pindah kesebuah gedung berlantai tiga puluh. Aku tidak terlalu suka sebenarnya, lebih baik seperti kemarin di perumahan biasa, tak sukar mencari makanan, dan tak perlu naik turun lift hanya untuk membeli sebungkus rokok.

Namun Ibu Bos sudah memutuskan demikian, supaya presentatif katanya. Maklum, meski kantor periklanan kecil, makin hari makin banyak klien kami. Dan lagi sewa gedung relatif murah sejak masa resesi global. Hampir semua gedung banting harga, apalagi gedung yang kami baru tempati, bisa dibilang hanya beberapa lantai yang baru terisi. Sebulan kami menempati ruangan baru, segalanya serba asing dan suasananya sepi sekali dibanding kantor kami terdahulu.

Laguh-Lagah Badai Laut


 
Ganggang menari di antara ruap-ruap ombak
Riang ikan berkejaran, lalu saling cari-sembunyi
Aku melihat Ayah meraih jala
Nelayan dari subuh mengibar layar merah kapal biru
Iring-iringan dengan lumba-lumba ke arah cakrawala
Tapi angin tak bersahabat pagi ini
Oleng kapal, dimainkan cuaca bersimaharajalela

Ingin kukabari para Ibu di tepian pantai
Bahwa kapal-kapal pergi tak kembali
Rupanya ada badai berlaguh-lagah
Angin meniup samudra serupa jerit sangkakala
Hujan dari sekawanan awan dari barat hingga timur
Ini hari mereka kehilangan; anak-anak berlarian
Mana suamiku, mana ayahku? teriak orang-orang  sambil sujud di pasir

*****

Bandung Tak Pernah Murung


Aku tak suka menempuh jalan tol, selain panjang berkelak-kelok, warnanya begitu kusam dan membosankan. Meski bebas hambatan, bersebelahan dengan truk-truk raksasa membuat laju mobil terasa lamban. Musik hanya dapat membunuh sementara, lalu aku menatap serius speedometer sedan yang kerap merayap naik sepanjang perjalanan.

Aku tahu dari balik kacamata hitammu, matamu terpejam, menyembunyikan sebaris jenuh yang kau tahan. Lalu bahumu menyandar padaku, rebahan. Menambah pegal rasanya di badan. Kilometer demi kilometer hingga bertemu kemacetan. Memaksaku memacu roda jadi perlahan. "Bangun sayang, kita sudah sampai. Bandung sudah di depan." Aku menggeser bahu kiri, agar kamu tak tidur keterusan.

Kota Bandung dipeluk mendung. Kelabu menggelayut manja namun tak mampu menghadirkan murung. Udara sejuk bersahabat dengan tubuh. Pori-pori bahagia. Dan jalan Dago seperti biasa, ramai jaya, mendatangkan kendaraan berplat B, berdatangan riuh bergulung-gulung. Entah apa yang mereka cari di sana, aku tak habis bingung. Apa pergantian suasana, pergantian suhu udara, pergantian kesibukan sehari-hari yang tak tak pernah rampung?

Pacarku



Pacarku,
kau jauh, begitu jauh
di mana aku harus melepas sauh?
Dermaga menjadi titik
pada peta Zeus

Malam ini kubayang
Sayap-sayap membentang
tumbuh di punggungku bagai elang
Agar bebas dari cupid berpanah api
menyulut nyala sepi
pada perkamen mimpi tanpa tepi

Dua Sejoli




Di tengah malam, dua lelaki berjalan tukar cerita
sambil mencegat becak.
“Enak ya, kenyal sekali dadanya.”
“Ah, aku lebih suka pahanya. Sintal, putih-mulus pula.”
Beberapa langkah dari mereka, lampu-lampu KFC meredup
tanda restoran cepat saji itu tutup.

Dua becak lewat, namun dari kejauhan terdengar suara,
“Pak ini kembaliannyaaaa…
uangnya kelebihannn….”
Dua waria melambaikan beberapa lembar ribuan.
“Nanti, nanti saja. Pegang dulu. Kami mau antar bapak-bapak ini,”
kata dua Bang becak hampir bersamaan.

Dewi Jingga



Tiga tahun yang lalu, aku masih berupa titik
menetes dari awan kalimat, jatuh ke daun-daun buku.
"Bayi hutan buku," kata Ibuku ketika mengambil tubuhku serupa embun mungil.
Aku hanya bisa menangis, minta susu, membuat Ayah iri saat ranjangnya kupakai
telentang minum susu.

Waktu aku mulai bisa berjalan kecil-kecil, Ayah kerap mengajakku ke sebuah desa
tempat ia bekerja memetik kata. Kata-kata yang ia bawa pulang,
disulam Ibu menjadi cerita pendek.
Sementara aku belum bisa membaca, apalagi menulis
maka Ayahlah yang membacakan sulaman Ibu sebelum aku tidur.

Celana Dalam Merah



Larik-larik rindu berakhir penasaran. Aku lapar bertemu Desy.
Desy haus bertemu aku. Balada kantin cinta, dari mata turun ke mana-mana.
“Jadi ke Malang, Nit?”
“Besok sore sampai. Ketemu di mana?”
“Di mana saja, asal jangan di kuburan.”

Senyawa


oleh: Granito dan Je Zee


Dan buatku cinta itu berderai tanpa tepi, tanpa henti

Kau bercerita tentang ikan-ikan salmon menempuh jauh, bertelur di air payau. Tentang kupu-kupu mencumbu kembang lalu berkejaran dengan kupu-kupu lainnya. Kaubilang ada bahasa, mungkin isyarat, tentang gelombang desibel yang hanya dimengerti “sang penerima”. Serupa jejak pulau dan benua: beberapa terpecah serupa mozaik, sebagian lainnya berdekapan hingga menjulang pegunungan. Kau mengatakan demikian, tentang apa yang kaupikir berjauhan, dapat saja bertemu, menjadi utuh menyeluruh, untuk ribuantahun kemudian.

“Jarak mencipta antara. Bagai bintang yang seolah berdekatan, namun nyatanya terpisah ratusan tahun cahaya. Tapi ini bukan tentang ilmu pasti. Ada ketidakpastian yang tak mampu dijawab otak kiri. Ada ketidakpastian yang pasti. Katakanlah tentang senyawa. Apa yang kau pikir tentang itu?”

Sekali lagi, ini bukan tentang kimia. Bukan tentang asam basa. Tak serumit molekul dan unsurnya. Kautahu, ini sederhana saja bagiku: aku, kamu, menjadi satu dan sejiwa. Aku meyakininya. Kau percaya? Lalu kau dan aku membentuk kita. Kita senyawa, tak peduli unsur asal ikatannya. Saling percaya, bahkan atas apa yang tak mudah diterima logika. Padahal, sebelumnya aku hanya setengah. Tercecer sisanya entah di mana. Lalu Tuhan memberi dirimu sebagai hadiah, mengisi yang seharusnya.

Ibu yang Menyulam Kenangan



Ada anak bermain gelembung senja
ditiupnya hingga menjadi gelembung hujan.
Bola-bola bening mimpi berterbangan
anak itu bersorak, “Hore… Ayah pulang.”

Ayahnya datang dari awan membawa oleh-oleh
“Ini pelangi buat kamu. Simpan ya,” katanya sambil
menyerahkan pita rambut. Ayahnya lalu kembali ke awan
naik gelembung hujan.

Nona Manis



Nona manis siapa pelukis wajahmu?
Ingin kutiru garis lengkung-lurusnya
Tiap-tiap milisenti rupamu kuterjemahkan dalam puisi
Oh angin, oh hujan, oh zaman, jangan koyak dia –aku belum selesai menulis


*****

Siluet Tubuh Anjani



  Cahaya mulai temaram, matahari sedikit lagi terbenam dari arah utara. Alde meletakan layang-layang yang baru saja ia terbangkan. Anjani mengusap kakinya yang penuh pasir pantai, setelah keduanya asik dengan kesukaanya masing-masing.

  “Laut itu mengerikan, Anjani.”
  “Masa sih, apanya yang buat kamu takut?”
  “Bukan takut kayak orang takut hantu lho….maksudku misterius.”
  “Buat aku sih, eksotik. Apalagi jelang Sunset begini.”
  “Cahayanya iya, tapi lautnya tetap mengerikan. Lihat ombaknya deh..”
  “Alde, justru ombaknya punya sensasi tersendiri. Lihat deh orang-orang malah seneng banget mandi buih ombak..”
  “Apa kamu gak bayangin, berapa dalamnya, ada apa di sana, dan seterusnya..”
  “Aku malah merasakan kedamaian di sini, De.”
  “Iya sebab Jakarta macet, di sini lenggang. Nggak kerja serius pula..”
  “Bukan itu..”
  “Trus..?”

Kuntum-kuntum Bening



: Kepadamu yang setia memandangi jubah kelabu tempat sembunyiku…

   Telah lama kuperhatikan dirimu yang senantiasa menanti hadirku. Pijar bola matamu saat melihat jubahku dari kejauhan adalah isyarat bagiku untuk segera menemuimu. Sekiranya kita mampu bertemu, tentu saja telah kubisikkan banyak kisah padamu. Namun kali ini biarkan sahabat sejatiku yang bercerita, berbisik pelan-pelan sambil mempermainkan anak-anak rambutmu. Ia banyak tahu tentangku, pun aku telah berbagi padanya.

   Mulaku dalam rupa barisan kristal dari putih buih samudra yang menapaki tangga kapas-kapas udara biru. Meluluh bersama gemuruh, menjadi selendang bening yang menyapa sejuk gunung. Sebagian menghening telaga cermin pendar cakra keemasan, sebagian berkelompok bernyanyi dengan bebatuan menggulung selaksa oksigen menggapai kehidupan sejumlah tebaran akar. Akupun tak jemu bercengkrama dengan setiap lapis kedalaman lalu meruah ke celah-celah litosfer. Seluruhnya aku menjelma menjadi setiap bentuk yang kusinggahi, kujelajahi, lalu menyatu pada lingkar rantai nitrogen memeluk setiap nafas mahluk yang ada.

   Kemudian pada tanah-tanah yang rekah serupa kelopak mawar kurebahkan diriku. Menyelusup, mencari sela di mana partikel-pertikelku bisa menyatu dan merekatkan kembali pelukan bebutir coklat yang berserak, lalu menguarkan aroma rindu yang mendamaikan hati. Aroma yang menjadi penanda orkestra para katak tak lama lagi dimulai.

Sastra dan Saya




Di sebuah bar dengan papan nama seronok, menjerit-jerit silau lampunya. Memanggil-manggil mereka yang ingin melewati malam dengan sloki cinta on the rock. Memagut bibir gelas bergaram Tequila, menikmati Kahlua dalam irama disko latin yang menghentak lantai dansa. Lantai yang dikerumuni para pencari riuh, pendulang sensasi goyang musikal, berwarna-warni kilau metalik pakaiannya.

Saya sendirian berteman gurih Nachos dan Chivas bercampur cola dingin. Meski dinginnya tak membekukan tatapan saya ke arah perempuan bercelana jeans lebih rendah dari pinggulnya, membuat segaris merah celana dalamnya mengintip tanpa malu-malu. Dia bersebelahan dengan saya, sama-sama merokok, sama-sama sendirian. Dalam hitungan kesepuluh di benak, saya memperkenalkan diri. Kesendirian saya sirna sekejap. Nama perempuan itu, Sastra.

Mawar Merah Putih


Mawar merah dan putih. Berjatuhan kelopaknya membawa embun air mata. Satu-satu bulirnya terhisap tanah dan rerumputan. Beberapa hinggap di atas secarik surat yang tergenggam, lalu merah dan putihnya padam.

Ini malam minggu. Aku tak tau siapa yang musti kutunggu. Jarum jam bertopang dagu. Waktu jadi bisu, gagu. Aku telah merdeka dari rindu yang membelenggu, bebas dari kangen yang kerap mengganggu. Namun setelah berminggu-minggu, aku jadi ragu. Apakah kebebasan ini adalah kebebasan yang aku inginkan? Apakah kesendirian ini membahagiakan, atau malah menjerumuskanku pada kesunyian? Tidak ada angan-angan, tidak ada merdu nyanyian. Semuanya terasa begitu perlahan, mematikan. Hanya kesepian yang berjalan, di antara gumpalan awan-awan pikiran. Lantas kekosongan mengisi rongga perasaan.

Surat-surat yang kau berikan, sudah lama aku bakar. Sebelum kenangan akan dirimu akan menjalar. Dan gambaran wajahmu menebar, bagai air yang masuk pada akar. Lalu pikiranku dipenuhi jalinan belukar membuat  dadaku berdebar. Tanganku gemetar, dan kemana aku akan bersandar? Sekarang, semuanya begitu datar, datar dan datar. Matamu yang penuh binar, bibirmu yang merah mekar, dulu aku melihatnya setiap saat bulan cerah berpendar.  Suaramu yang indah selalu kudengar, begitu indahnya seolah dunia ini berhenti berputar. Suara yang kini tak pernah kudengar, meski kubuka telinga ini lebar-lebar.

Paman Hujan






Aku adalah penangkap cahaya
Ibuku perempuan Jawa, Ayahku rembulan.
Sebulan sekali Ayah datang pada Ibu
sebab Ayah sibuk mengitari bumi, pekerjaan tetapnya.

Saat mereka berduaan di kamar, aku tak boleh mengganggunya
“Sedang datang bulan,” bisik Ibu menghiburku.
“Bermain-mainlah kamu dengan serangga malam.”
Sebagai penangkap cahaya tentu banyak sinar kugenggam,
sebagian serangga itu kuberi terang; mereka menjelma menjadi kunang-kunang.

Kata Mereka Ibuku di Surga



nanti kalau mati, apa yang akan diingat manusia lain tentang aku? kebaikanku? keburukanku? atau.. gunungan sampah tempat bertemu tuhan dan aku?
—–
ibu, kata mereka kamu di surga. betul ibu? kalau iya aku ingin menyusul kesana. didongengkan kamu tentang indahnya istana dunia. dongeng saja ibu. karena pada nyata, dunia adalah neraka tempat aku mempertaruhkan segala. segala. bahkan hidup, nafas dan nyawa. ibu, kata mereka kamu di surga. kata mereka di sana ada taman bermain. ada bunga-bunga yang menyapa. dengan segala tawa. betul ibu? kalau iya aku ingin menyusul kesana. aku ingin melihatmu, menyentuhmu, membelaimu. karena pada nyata, aku sungguh bukan siapa-siapa. kecuali  beling-beling dan seonggok botol plastik, menjadi temanku. tempatku bercerita.

Malam Pertemuan



(Di keheningan malam, sosok laki-laki itu datang. Angin mendesir,  menebar aroma kembang.)
.
   “Andi….apakah itu kamu, Andi…?”
   “Selamat malam Nisa. Aku datang Nisa. Aku datang ingin melihatmu.”
   “Oh Andi, aku gemetar melihatmu. Tapi aku senang kau datang juga akhirnya. Aku pikir kau lupa padaku.”
   “Aku rindu padamu, Nisa. Tiga bulan lebih tak dapat melihatmu. Aku tak tahu caranya. Baru ini, bisa menjengukmu.”
   “Iya, aku mengerti, akupun kangen padamu. Walau ternyata tidak semudah bayangan semula, kita sudah lain dimensi bukan? Bagaimana kabarmu, Andi?”
 

Laron-Laron Cinta



Minggu subuh Mila berlari, olahraga pagi. Menghirup udara bersih, menjenguk suhu yang turun satu derajat. Jam masih pukul lima. Kaus ketat merah jambu dan bicycle pants hitam, sesekali menguak kontur badannya. Wewangian Adidas membantu semangat Mila. Aroma maskulin memang favoritnya. Aktif. Sportif. Menebar aura positif.

Sebelumnya, seperti biasa Mila melakukan pemanasan: membuat gerakan berputar pada leher, lengan dan pinggang. Mengendurkan otot-otot sendi. Mengusir kantuk yang melekat di pelupuk matanya. Membuang penat yang tersimpan dalam setiap sel-sel tubuhnya.

Sepatu jogging putih dengan tiga strip merah muda, selaras dengan kaus ketatnya. Yang nampak tak mampu menyembunyikan pusarnya.  Sepertinya berat badan Mila naik satu kilogram. Dan itu cukup membuat Mila dengan mudah mengenyah rasa malas bergerak dipagi ini. Lebih baik lari pagi, daripada mengurangi makan. Dan ini akhir minggu, harusnya bebas dari diet. Sekali-sekali memanjakan diri dengan kuliner, begitu pikir Mila.

Kang Insan



Kemarin aku bertemu kang Insan di stasiun kereta
hampir tidak mengenaliku sebab dia asyik menunggu kata-kata.
Sedangkan aku tak sabar menunggu paragraf yang akan lewat.
“Hai kang,” sapaku saat gerbong cerita masuk peron.
“Lho, kok kamu di sini?” jawabnya sambil mengangkat tas dan buku KBBI.