Laguh-Lagah Badai Laut


 
Ganggang menari di antara ruap-ruap ombak
Riang ikan berkejaran, lalu saling cari-sembunyi
Aku melihat Ayah meraih jala
Nelayan dari subuh mengibar layar merah kapal biru
Iring-iringan dengan lumba-lumba ke arah cakrawala
Tapi angin tak bersahabat pagi ini
Oleng kapal, dimainkan cuaca bersimaharajalela

Ingin kukabari para Ibu di tepian pantai
Bahwa kapal-kapal pergi tak kembali
Rupanya ada badai berlaguh-lagah
Angin meniup samudra serupa jerit sangkakala
Hujan dari sekawanan awan dari barat hingga timur
Ini hari mereka kehilangan; anak-anak berlarian
Mana suamiku, mana ayahku? teriak orang-orang  sambil sujud di pasir

*****

Bandung Tak Pernah Murung


Aku tak suka menempuh jalan tol, selain panjang berkelak-kelok, warnanya begitu kusam dan membosankan. Meski bebas hambatan, bersebelahan dengan truk-truk raksasa membuat laju mobil terasa lamban. Musik hanya dapat membunuh sementara, lalu aku menatap serius speedometer sedan yang kerap merayap naik sepanjang perjalanan.

Aku tahu dari balik kacamata hitammu, matamu terpejam, menyembunyikan sebaris jenuh yang kau tahan. Lalu bahumu menyandar padaku, rebahan. Menambah pegal rasanya di badan. Kilometer demi kilometer hingga bertemu kemacetan. Memaksaku memacu roda jadi perlahan. "Bangun sayang, kita sudah sampai. Bandung sudah di depan." Aku menggeser bahu kiri, agar kamu tak tidur keterusan.

Kota Bandung dipeluk mendung. Kelabu menggelayut manja namun tak mampu menghadirkan murung. Udara sejuk bersahabat dengan tubuh. Pori-pori bahagia. Dan jalan Dago seperti biasa, ramai jaya, mendatangkan kendaraan berplat B, berdatangan riuh bergulung-gulung. Entah apa yang mereka cari di sana, aku tak habis bingung. Apa pergantian suasana, pergantian suhu udara, pergantian kesibukan sehari-hari yang tak tak pernah rampung?