Dag Dig Dug




Dag …Dig ….Dug….
Dag …Dig ….Dug….

Di sebuah malam yang teramat sunyi, aku berjalan kaki menuju pulang. Tak biasanya begitu sepi, tak pula mendapat tumpangan. Kendaraan sulit dicari malam ini, entah kenapa. Aku meneruskan langkah kaki di antara lebat rindang pepohonan. Tiba-tiba,

BRAAAAAAKKKKKKKKKKK……….

Suara benturan keras mengejutkanku seperti membelah malam, tak jauh dari tempatku terhenyak. Aku mempercepat jalanku, sedikit berlari kecil, sepertinya di depan tikungan suara tadi berasal.

Oh, ternyata bis besar menabrak pohon tua, hingga ringsek pecah-pecah berantakan. Sepinya jalan kini terganti dengan teriakan dan jeritan,
“Tolongggggg…………. Ampunnnn.. Ya Tuhannnnn……… Toloongggggg…!!!”

Dag …Dig ….Dug….
Dag …Dig ….Dug….

Sebagian adalah lolong kesakitan, aku sungguh mendengarnya jelas. Telingaku seperti ditusuk-tusuk, bulu kudukku berdiri. Dan aku lihat, astaga! Korban-korban tercerai-berai, memilukan. Bercampur dengan bagian dari bis yang porak poranda. Warna merah segera meneror pandangan, yang kini terang oleh beberapa lampu sorot. Cipratan darah segar di mana-mana.

Biner Cinta



Setiap malam selalu begini. Sudah lima tahun seperti ini, selalu. Duduk di depan PC usang ini selama berjam-jam. Bersandiwara menjadi bukan aku. Nikmat, sebenarnya. Terlalu nikmat bahkan, hingga aku tenggelam di dalamnya. Kau tahu apa yang paling aku nikmati dari semua ini? Mari, aku ceritakan kepadamu. Tapi aku tak berani janji kalau kau nanti tidak akan tergoda.

PC ini sudah kuanggap sebagai belahan jiwaku. Sejak kapan? Sejak aku masuk ke dalam sebuah ruang yang mampu mengubahku menjadi bukan aku. Kau tahu aku seperti apa? Lebih baik kau tak tahu. Aku tak menarik, menurut ukuran umum. Tubuhku kecil, pendek dan tak berbentuk semlohay seperti perempuan-perempuan seusiaku. Ya, untuk usia 25 tahun, harusnya aku menjelma menjadi perempuan matang, luar dan dalam. Tapi sepertinya tidak itu yang terjadi padaku, luar dan dalam. Rambutku kusam, karena aku malas sekali bersentuhan dengan manusia lain yang kubayar untuk memeliharanya. Mataku rusak sehingga harus kurelakan hidungku menahan beban lensa setebal 3 mm. Semua demi PC ini, tentunya.

Tak tahu bagaimana aku harus melalui hari-hariku tanpa PC kusam ini. Melalui dia aku menjadi menarik bagi semua laki-laki di sana. Di mana? Di sana, di dunia tak tersentuh yang aku sendiri tak tahu ada di mana. Dunia maya, kata orang. Aku adalah perempuan penggoda nomor wahid di chatroom yang saban malam kusambangi. Ketik nickname-ku, Mawar_Manis_Berduri, maka aku akan menjadi perempuan paling panas untuk setiap laki-laki yang memanggilku. Bagaimana bisa?

Capucinta




Ia mereguk habis secangkir cappuccino. Cairan hitam hangat, melarut  sejumlah kenangan. Sebelum ia minum, gumpalan buih susu di atasnya, menyerupai gambar hati. Bentuk yang paling ia sukai. Mengurungkan niat menebar gula coklat, enggan merusak pola jantung yang dibuat barista cantik, dan memilih tanpa rasa manis sama sekali. Serbuk wangi kayu manis tersebar merata di sekeliling permukaan kopi, mirip debu planet pada galaksi. Lalu beberapa saat ia lihat siluet masa silam, terpantul pada tatakan cangkir porselen: bayangan wajah kekasih dan wajahnya sendiri.

Dulu ia kerap ke café berdua, merenda jala cinta, menyusun kepingan harapan. Entah berapa ratus cangkir menjadi saksi rayuan demi rayuan terbagi. Setiap dinding ruang café menjadi bagian penting dari sebuah jejak dua belahan hati. Dan kini, ia ragu, membiarkan kenangan tergenang di sana justru melenakan. Lalu mereguk habis isi cangkirnya, gambar hati buih susu menyiksa batinnya. Ia bunuh dengan menelan semuanya, sekali tenggak. Sesudah itu kehampaan menyelinap diam-diam tanpa setahunya.