Capucinta




Ia mereguk habis secangkir cappuccino. Cairan hitam hangat, melarut  sejumlah kenangan. Sebelum ia minum, gumpalan buih susu di atasnya, menyerupai gambar hati. Bentuk yang paling ia sukai. Mengurungkan niat menebar gula coklat, enggan merusak pola jantung yang dibuat barista cantik, dan memilih tanpa rasa manis sama sekali. Serbuk wangi kayu manis tersebar merata di sekeliling permukaan kopi, mirip debu planet pada galaksi. Lalu beberapa saat ia lihat siluet masa silam, terpantul pada tatakan cangkir porselen: bayangan wajah kekasih dan wajahnya sendiri.

Dulu ia kerap ke café berdua, merenda jala cinta, menyusun kepingan harapan. Entah berapa ratus cangkir menjadi saksi rayuan demi rayuan terbagi. Setiap dinding ruang café menjadi bagian penting dari sebuah jejak dua belahan hati. Dan kini, ia ragu, membiarkan kenangan tergenang di sana justru melenakan. Lalu mereguk habis isi cangkirnya, gambar hati buih susu menyiksa batinnya. Ia bunuh dengan menelan semuanya, sekali tenggak. Sesudah itu kehampaan menyelinap diam-diam tanpa setahunya.

Keputusan yang jitu, namun menyisa sejumput kegalauan, ia membunuh sesuatu yang kemudian bangkit lagi. Hampir membanting cangkir kopi, namun ia sadar bahwa bayangan itu akan tetap menjadi hantu. Meloncat dari pantulan ke pantulan lain, dan kini hinggap di kepalanya sendiri. Menetap di sana, berlama-lama, dan akhirnya tersesat pada setumpuk ingatan.

Mila membendung gelisah, menyandarkan bahunya di pojok café, tempat favoritnya saat bersama pasangannya dulu. Dan kini menjadi sudut kesukaan ketika kesendirian meletakkan sayap aneh di bahunya. Mila menyandar di dinding yang dingin, seolah tembok itu sanggup menghisap seluruh perasaan, meresap sejumlah potongan kerinduan. Sayap aneh itu kemudian menjalar ke leher, menjadi bantal penyanggah sepi yang hampir saja merengutnya.

Beberapa pasang mata memandang wanita penikmat cappuccino, rok mini membungkus ketat pahanya, mengundang selera, menebar aneka hasrat. Wanita sinting! Sudah sebulan tidak menyukai celana dalam, ia bebaskan sudut selangkanya menghirup oksigen dalam-dalam. Bola mata yang memandang Mila setengah tidak percaya, bagian yang harusnya tersembunyi justru dilepas bebas, menghirup cakrawala liar, bagai serangga yang haus mereguk nektar.

Andai saja dadanya cukup tebal, sudah lama menanggalkan kutangnya pula. Dada tidak perlu sabuk pengaman, toh lalu-lintas birahi kerap macet. Namun ada pertimbangan lain, keseimbangan itu perlu, tampak samping bokongnya lebih menonjol ketimbang bagian atas. Ya, semata pertimbangan artistik, bukan fungsi. Seperti wayang kulit, siluet samping adalah hakiki dan mampu menguak misteri sebuah karakter dalam nirmana datar.

Karakter itu bernama kebebasan dan sudah lama Mila ingin melepaskan hal itu. Bebas dari rasa sepi, bebas dari cengkraman serigala masa lalu. Merdeka dari rasa pilu, itu maksudnya. Dan sudah tentu kebebasan itu diberikan juga bagi bola-bola mata penikmat, yang ingin melompat lebih dalam, yang ingin menjenguk sepi sela pahanya. Pandangan mata liar mirip bola-bola bilyar, terantuk bibir meja, memantul kesana-kemari, dan akhirnya terjebak lubang yang menganga.  Lubang yang sengaja membuka mulutnya, menunggu benda bulat masuk dalam kerongkongan gelap, lalu tersesat masuk kedalam labirin hitam.

Jalinan lorong hitam adalah putaran ruang, seperti bagian kelam kopi pada secangkir cappuccino di depan Mila. Menunggu bening jernih adalah sia-sia, lebih baik mereguknya, menuntaskan bagian demi bagian. Dari buih susu ke lapisan antaranya hingga pada larutan paling pekat. Sensasi menempuh nuansa rasa merupakan ekspresi melepas belenggu, memutar kembali ruang dan waktu, lalu menelannya hidup-hidup. Bibir Mila lega. Namun sudut pahanya belum.

********

Buih susu adalah putih ombak, melempar Mila kala liburan di pantai Kuta, membalut lekuk tubuhnya dengan bikini ungu dan bertabur bedak pasir Bali. Kekasihnya menggandeng mengajak membuat istana pasir, menghiasi dengan cangkang kerang berwarna-warni, sebatang kayu kusam dibelah, menjadi sosok pangeran dan putri. Sambil jemarinya membentuk dinding rapuh, matanya memandang Dewi, pacarnya sejak dua tahun yang lalu. Berbeda dengan dirinya, Dewi lebih feminim, berambut panjang, hitam dan tubuhnya mirip buah pir. Sedangkan Mila atletis seperti laki-laki, potongan rambut pendek, warna kecoklatan.

D-E-W-I, susunan huruf gotik yang menjadi tato di tubuh bawah Mila,beberapa senti di bawah pusar. Ungkapan kesungguhan, ungkapan cinta mati, ungkapan asmara berbalut tipografi seni. Dan istana pasir adalah refleksi tentang keinginan mereka membangun pelaminan. Masalahnya, bangunan rapuh mungil itu juga refleksi atas ketidak berdayaan, dan Mila sadar, sesadar-sadarnya. Ia dan Dewi adalah pasangan sesama jenis. Sebuah perjalanan cinta yang gampang ditempuh, namun gampang pula roboh dalam struktur sosial. Istana pasir, sebentar lagi tergulung ombak pasang pantai Kuta. Alam mecoba menghakimi. Angin barat bertiup kencang pada musim ini.

*****

Ia mereguk habis secangkir cappuccino. Cairan hitam hangat, melarut  sejumlah kenangan istana pasir. Dan ia merasa dirinya bagai bongkahan kayu kusam, tak berguna, tak berarti, tak berjiwa. Bulan biru bertengger di atap café, sinarnya menghias meja-meja kosong, bangku-bangku kosong. Hanya di sudut dinding yang dingin, Mila mencoba membebas jiwanya yang terlepas, mencoba terbang menggapai bulan biru, mencoba meraih kehidupan baru. Ruangan café telah sepi mengusir bola mata yang kini bergulir entah kemana, yang jelas tidak lagi hinggap di selangka Mila. Sudut pahanya dingin, sebeku dinding café.

Para barista berkemas, para pegawai café menutup jendela dan pintu, hari menjelang pagi. Wanita tanpa celana dalam melumat rokoknya pada asbak yang megap-megap. Meninggalkan beberapa lembar kertas rupiah, lalu berjalan gontai tanpa arah yang jelas. Menyusuri jalan mencegat taksi namun sayang tiada satupun yang lewat. Hari terlalu sepi, rembulan masih kebiruan, hanya mengecil ukurannya sebesar buah kenari.
Langkah Mila dihentikan oleh denging klakson mobil.

“Hai Mila…….hahaha, darimana sayang? SMS dari loe, gue baca tadi di kantor, ” wajah Dewi menyembul dari balik kaca mobil yang turun.

“Loe gila ya, jalan sendirian gitu. Ngapain sih malem-malem begini?”

“Ayolah ikut gue. Gue juga bete nih habis lembur di kantor, ayolah Mil…!”

“Nggak usah wi, biar aku pulang sendiri….bye!”

Mobil Dewi masih mengikuti langkah Mila, deru mesinya melamban. Secarik kertas dimasukan Mila lewat jendela mobil setengah terbuka, melayang hingga mendarat di paha Dewi :

SUMPAH AKU MASIH CINTA KAMU. TAPI AKU MALES JADI LESBI TERUS MENERUS. CAPEK AKU. CAPEK!

LOVE,

MILA.

*****

Granito Ibrahim\

Tidak ada komentar:

Posting Komentar