Duarrr...!




Dia melangkah gontai, menjejakan kakinya di tepi pantai. Malam tergenang dalam sunyi. Rembulan di balik awan bersembunyi. Ombak air laut mendengar dia bernyanyi, ruap-ruapnya menari-nari. Di kejauhan ada dermaga yang membisu, tanpa kapal-kapal. Tiang-tiangnya terayun seperti ingin berlari. Bahkan ingin meloncat, berenang di dekat karang. Dia masih melangkah, dengan tubuh setengah basah.

Dia percaya dengan bernyanyi seluruh jagat akan bernyanyi pula. Dia percaya pula jika tertawa seluruh alam akan tertawa. Dia merasa, gontai langkahnya membuat ombak-ombak itu enggan tinggi bergulung. Maka urung niatnya untuk berlari. Padahal dermaga itu masih dalam jangkau pandangannya. Dia tak ingin melihatnya lagi. Dermaga sama dengan penantian. Dia benci: penantian dan penantian.

Dulu dia tak sendirian. Malam dan pantai adalah dua hal yang dia gemar -dia dan kekasihnya. Berlama-lama dari terbenam matahari, hingga tengah malam di sana. Duduk di dermaga, menikmati ayunan tiang-tiang penyangga. Ada sebuah kapal layar milik kekasihnya, di sanalah mereka bermalam. Tidak ada sesiapa yang mengganggu, kecuali angin kadangkala kencang bertiup. Membuat kapal semakin bergoyang, dan membuat mereka semakin berasik-asik di dalamnya.


Suara decak pagutan, ciuman bertubi-tubi, bergemerisik. Selimut terbengkalai, pakaian porak poranda. Lantas sayup dengkur tidur, berbisik bersamaan dengan mentari yang bangkit. Sementara mereka masih terlelap. Dinding kamar dalam kapal itu gelap. Jendelanya terlampau kecil, tak kuasa cahaya siang menerang. Jam menunjuk pukul 9 pagi. Mereka masih berpelukan, saling mendekap. Begitulah dua pasang merasa lengkap.
……
Duarrr…!

Dia menembakan pistolnya, tepat di dahi kekasihnya. Tidak ada erangan. Bunyi letusan tertelan debur ombak.
……
Duarr..!

Dia menembak kepalanya sendiri. Tidak ada suara lain kecuali: “I love you”…

Sayup……sayup.

Lalu hening.
.
***
.
Dia melangkah gontai, menjejakan kakinya di tepi pantai. Mencoba menghirup sepuasnya udara pantai. Sambil menjauh. Menjauh dari dermaga itu, yang semakin mengecil. Mengelabu. Sekawanan kabut datang membungkusnya. Penantian usai waktunya. Kini dia terlepas dari belenggu: menunggu dan menunggu. Tak ada lagi yang ditunggu, kini, esok dan seterusnya.

Dia, dia dan dia.
Ketiganya lepas dari ikatan. Segitiga cinta, simpul-simpul yang saling mengait. Lalu kematian membukanya satu persatu. Dia tahu hanya maut yang memisahkan dari hidup yang membelenggu. Namun, dia masih bertanya-tanya, mengapa kekasihnya memilih mati daripada memilih dirinya?

Sarah. Ya Sarah, mengapa harus mengakhiri diri padahal ini sebuah permulaan. Permulaan Sarah mengenal cinta seorang laki-laki, setelah sekian lama dengan sesama perempuan. Dan Sarah memilih mendekap pasangan lesbiannya, saat genta penentuan berdentang. Mengapa? Mengapa?
Dia melangkah gontai, menjejakan kakinya di tepi pantai.
“I love you…!”
…..
Duarrr…
……………
Hening.
.
*****
.
Dia menutup buku itu: kumpulan cerita pendek tentang cinta. Baru sempat ia baca malam ini, malam tahun baru dengan segala kesendiriannya. Matanya terasa berat, kantuk menggegamnya erat-erat.
……….
Duarrr…..!
……..
Letusan kembang api tak dapat mengenyah denyar-denyar mimpinya. 
Tahun baru tiba membawa lembar-lembar awalan cerita. telah tiba.
.
*****
.

2 komentar: