Sepotong Senja untuk Imut-imut Baby

 

Cinta yang tersayang,

bersama ini kukirim senja dengan segala capung-capungnya.

Apa kabar ilalang-ilalangmu, apakah sudah mandi hujan Febuari ini?

Mohon dimaklumi, aku belum bisa pulang dari masa lalu. Jadwal tangisku begitu padat

meski sedih sudah pergi naik balon udara. Dan jangan kuatir tentang nilai-nilai rapor,

aku berusaha tidak mendapat merah dari pelajaran mencium.

Sebab Ibu Guruku manis sekali, tidak pernah mencubit barang sekali. Hanya pernah beliau marah, ketika aku makan luka di kelas. Luka yang selalu kubawa untuk makan siang.

“Luka tidak baik untukmu,” kata Ibu Guru.

 

Cinta yang terindah,

jangan lupa membeli bunga, ya. Sudah lama kuburan sepi tak kaukunjungi.

Ambil saja bunga-bunga dari kebun pacar kita, bilang bahwa sepi sudah lama mati.

Ceritakan pula tentang bulan yang  mengubur sepi, Barusan sepi bunuh diri,

loncat dari ramai.

 

Cinta yang terkasih,

nanti kalau ketemu, aku janji lanjut cerita.

Salam kangen untuk kucing belang limamu, si Centil Imut-imut Baby

 

Tertanda,

Rindu Pagi Embun Berseri.

Aku Tidak Menilai Kekasih Dari Bajunya

 



Mungkin fiksi seperti fisikmu

wajah kamu, maksudku.

Sebab mata jadi tamak imajinasi

ketika kerlingmu melontar tiang listrik

ke dahiku.

 

Nyatanya begitu dan dilihat banyak orang

benar memalukan, benar pula jadi kenangan.

Aku ceritakan pada semua teman

mereka pikir aku bercanda dan mungkin

jatuh cinta pertama kali.

 

Padahal aku manusia biasa, biasa manusia

pada umumnya yang kadang tak tahu

apa yang terjadi: persengkokolan semesta

mengolok-olok diriku agar aku menjadi

benar-benar lelaki penuh hasrat padamu.

Maka, wajahmu kini kurayakan dengan sederhana.

tanpa apa-apa, maksudku,

toh aku tak menilai kekasih dari bajunya.



Jakarta, 2018