Si Keling Merah



Hujan baru saja reda, setelah beberapa saat membasahi sebuah dusun tua. Air menggenangi beberapa empang, kolam ikan dan menderas aliran sungai-sungai.  Pepohonan segar berseri, daunnya tersenyum menampung tetesan air. Pelangi terbit di ufuk timur, mewarnai barisan bukit, mirip goresan kelir pinsil pada langit yang kini membiru setelah ruah hujan meninggalkan bumi.

Di desa itu anak-anak gemar bernyanyi dan bermain di genangan air, beberapa anak lelaki kecil saling berkecipak hingga lumpur hinggap pada tubuh telanjang dada teman-temannya. Mereka tertawa-tawa, berlompatan riang sambil mendendang lagu tentang pelangi dan berkah hujan. Bagi masyarakat desa itu datangnya air dari langit pertanda padi akan menyubur, kebun buah-buahan mulai meranum, sekelompok burung mulai beterbangan, meramai suasana desa .

Selagi mereka bergembira, ada seorang anak bernama Nako yang tidak turut bermain dilapangan bertebar lumpur. Ia menimang-nimang perahu kertas warna merah, buatanya sendiri ketika hujan tadi sedang melebat. Sudah lama bocah laki-laki itu menunggu saaat seperti ini, baginya selipat perahu kertas adalah impiannya, seolah mewakili keinginannya untuk berlayar mengelilingi dunia.