Dinda



Saat SMP aku punya teman sebangku yang lucu dan rupawan. Namanya Dinda. Anaknya cerdas luar biasa, hingga disayang para guru dan dikagumi teman-temannya termasuk aku. Kami bersahabat, atau dapat dikatakan melebihi sahabat. Semakin hari semakin erat hubungan kami hingga terbersit rasa saling cemburu, rasa saling kangen dan sedikit perasaan ingin memiliki.

Suatu hari aku menyubit pipi Dinda di kelas saat pelajaran sejarah. Sebab ia membacakan sajakku keras-keras. Seisi ruangan tertawa karenanya. Saking malunya kucubit ia hingga merah merona pipinya. “Aaauuuwwww….” jeritan Dinda terdengar Ibu Guru, lalu Ibu Guru segera menghampiriku dan menyubit pinggangku lebih kuat lagi.

Kini Dinda yang tertawa, sekeras teman-teman lainnya terbahak-bahak. Saat itu kami masih belajar di bangku sekolah menengah, dan pelajaran sejarah adalah hal yang paling membosankan. Pernah Ibu guru sejarah bercerita dengan rekannya sesama guru, ia juga bosan mengajar di sekolah kami. Sudah tiga tahun gaji beliau tidak kunjung naik. Aku mendengarnya dari balik ruangan kala dihukum akibat mencubit Dinda kali ke dua.