Waktu aku kecil, di depan teras rumah
berdiri dua pohon jambu air yang lebat dan rajin berbuah. Pohon yang
satu buahnya besar-besar namun hambar rasanya, yang satunya lagi
jambunya manis meski ukurannya kecil. Aku menyebutnya pohon jambu besar
dan pohon jambu manis. Keduanya mirip sepasang kekasih, hidup damai
berdampingan. Ayahku yang menanamnya, sebagai peneduh halaman rumah
kami.
“Ini bibitnya sudah kampiun..” kata Ayah.
Kedua pohon kampiun tempatku bermain
dikala kecil. Naik dahannya hingga puncak, menunggu burung-burung kecil
yang sering lewat. Angin membuat pohon bergoyang, lalu tubuhku ikut
terombang-ambing, seru sekali. Tapi Ayah panik tatkala melihatku terayun
tinggi di atas pohon itu. Ia menyuruhku turun segera, sebelum angin
lebih besar lagi datang disertai hujan. Aku tertawa-tawa sembari
selekasnya turun dari pohon kampiun yang mungkin jaraknya empat meter
dari tanah. Cukup tinggi untuk melatih keberanian dan melatih otot
kaki-kaki anak usia sembilan tahun sepertiku.
Kegembiraanku bertambah manakala ada layangan yang tersangkut di sana, meski aku tak berani mengambilnya. Layangan itu terlalu jauh dari jangkauan tanganku. Jika musim anak-anak bermain layangan, bisa tersangkut tiga layang-layang dalam sehari. Hingga seminggu, kedua pohon itu mirip dengan pohon natal, dihiasi buah jambu yang merah mekar dan sejumlah layangan yang tersangkut. Aku bangga sekali memiliki ’sepasang’ pohon jambu kampiun.
Saking buahnya begitu banyak, sering
kupetik untuk dijual kepada pedagang rujak yang sering lewat di depan
rumah. Hasil kerjaku tertukar dengan dua porsi rujak yang mengakibatkan
rasa mules di perutku. Sebagai pelanggan buah jambu, Abang rujak
sekenanya menyuruhku memetik yang dia inginkan,
“Tuh, yang sono jang….tuh yang sono juga…!”
Sambil memetik jambu air sesuai
permintaan, aku melongok ke bawah. Ada anak perempuan sebaya denganku,
tersenyum-senyum melihat tingkah polahku di antara dahan-dahan. Lalu
kami berkenalan, namanya Nina….tetangga baru yang tinggal lima rumah
jaraknya dari kediamanku. Ia suka sekali diajak memanjat pohon,
membantuku memetik buah untuk ditukar rujak. Jadilah hasilnya kami bagi
berdua.
Suatu hari sepulang sekolah aku melihat
ada mainan parasut payung yang tersangkut di ranting pohon. Entah
datangnya darimana hingga teronggok di sana . Aku kasihan dengan sosok
tentara plastik yang tergantung di ujung parasit itu. Dia kepanasan dan
kehujan serta pastinya kesepian sepanjang malam. Sayang sangkutannya
terlalu jauh berada di ranting yang paling lemah, aku tak kuasa menolong
tentara itu. Hari demi hari berlalu tak satupun ada anak-anak tetangga
sekitar yang merasa kehilangan mainan parasut. Mungkinkah dia terjatuh
dari pesawat?
Nina mencoba menolong meraih tentara
payung itu dengan tangan kecilnya. Usahanya tidak berhasil namun
membuahkan persahabatan diantara kami. Aku jadi sering bermain dengan
Nina, teman lawan jenis pertamaku.
Aku masih ingat, Nina kerap memakai kaus
polkadot warna warni. Memakai celana pendek kuning terang. Membuat
badannya serupa balon mungil yang berjalan. Kedua pipinya gembil mirip
tomat, matanya bundar serupa kelereng kehijauan gelap. Sinarnya selalu
gembira, tatkala memanjat pohon kampiun. Hingga Nina mirip balon mungil
yang teris gas helium, begitu ringannya melesat ke udara. Menggapai
dahan dan ranting, menemaniku bermain di atas pohon, sambil mengejar
kupu-kupu yang kadang hinggap.
Nina juga kerap membantuku memungut buah
jambu yang terjatuh di rerumputan, mirip bunga-bunga merah yang seolah
tumbuh di halamanku. Ia memungutnya satu persatu sambil terbahak, ketika
melihatku terpeleset oleh sebuah jambu yang bonyok dan mengeluarkan air
hingga rerumputan licin.
Dan akupun terbahak pula saat
putik-putik putih jambu berguguran hinggap di rambut Nina, begitu
banyaknya hingga kepalanya mirip nenek-nenek ubanan, putih semua
rambutnya. Nina cemberut sambil berusaha mengibas sebisa-bisanya,
helai-helai putik itu tak dapat meluruh semua. Aku makin terbahak dan
Nina makin cemberut.
*****
Tahun-tahun berlalu, kini aku telah
menjadi ayah dari dua orang anak serta suami dari istriku. Kami tetap
menempati rumah orang tuaku. Mereka memilih pindah, menikmati masa
pensiunnya di pinggir kota yang lebih tenang serta lebih sejuk hawanya.
Sementara sepasang pohon jambu kampiun
kesayangan, masih berdiri rindang dan lebat, meski tak sesering dahulu
berbuah. Dan aku selalu melarang anak-anaku memanjatnya, dengan berbagai
alasan. Hingga mereka sering keheranan,
“Mengapa tak boleh Ayah?” anak lelakiku yang sulung selalu bertanya begitu.
“Jangan, nanti kamu terjatuh…”
Aku tak mengatakan hal yang sebenarnya
kepadanya, juga kepada anak bungsu serta istriku. Biarlah hanya aku yang
tahu mengenai rahasia dibalik sepasang pohon jambu.
Di suatu sore, aku pulang kantor lebih
cepat dari biasanya. Sesaat setelah ponselku berdering dan istriku
mengatakan hendak mengajak kedua anak kami pergi ke sebuah Hypermarket,
belanja bulanan. Aku bergegas meluncur pulang. Karena diam-diam aku
rindu menjenguk rahasia itu, yang lama tak kutengok lagi.
Sesampai di rumah segera aku memanjat
pohon jambu besar hingga ke dahan yang paling tinggi. Aku melongok ke
bawah, ke rerumputan. Aku melihat wajah Nina di sana, rebahan dengan
matanya sayu menatapku. Cairan merah menggenang dari balik kepalanya.
Persis seperti kala ia terjatuh ketika berusaha menangkap kupu-kupu.
Nina tersenyum sekilas, jemarinya seolah melambai lalu matanya terpejam.
Perlahan sirna bayangan wajahnya dari pandanganku.
Seperti dahulu aku hanya bisa tertegun,
tak tau harus bagaimana dan aku tak mau kehilangan Nina-Nina lainnya.
Maka tak seorangpun aku izinkan memanjatnya. Biar aku saja yang memegang
kisah rahasia ini selama-lamanya.
Mungkin ini yang namanya takdir. Hidup yang mengalir. Dari titik
sebuah lahir menjadi garis ke ujung akhir. Seperti gugurnya dedaunan
dari pohon jambu air, satu-satu helainya terjatuh tertiup angin semilir.
*****
Granito-Nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar