Pramugari





Di sini
Saya dipekerjakan. Bertaruh kehidupan dengan berjalan mondar-mandir diantara penumpang, tak jarang hidung belang. Merelakan dibayar untuk melayani dan tak jarang ditodong untuk melayani. Suap nasi untuk ibu dan adik ditentukan di atas sini.

Lalu
Beberapa penumpang menatap kearah dada saya. Menanyakan nomor ponsel adalah hobi beberapa lainnya. Sebagian mengajak saya kencan. Ada pula yang langsung sodorkan proposal pelaminan. Bertanya, ada apa dengan badan saya, wajah saya atau senyum saya?

Mungkin
Karena mereka pria. Mungkin karena kebanyakan dari mereka buaya. Mungkin rok saya yang ukurannya setengah paha mengundang isi celana mereka untuk menyapa.



Dan
Saya sering menginap di sebuah kota sekedar beristirahat menjelang dinas saya esoknya. Belum satu jam merebahkan diri, dering telpon bergemerincing. Rekan sesame cabin crew mengajak saya pergi. Kapten pilot yang sudah ubanan, beranak tiga mahasiswa, minta ditemani karaoke. Belum lagi telpon gelap entah dari siapa, merayu dengan kata-kata yang merendahkan saya sebagai wanita. Saya sering bertanya dalam hati, jangan-jangan apa ada yang salah dengan badan, wajah atau senyum saya. Atau ada yang salah dengan mereka.
sepertinya.

Hey
Mengapa mereka tidak memilih mahasiswi atau peragawati? Kenapa mesti saya? Apa mereka pikir saya cantik, seksi, aduhai? Atau mereka menggangap saya daun muda dan murahan? Tunggu. Murahan? semoga gembel dijalanan yang kain penutup tubuhnya tidak seberapa, tak ikut terkena label picisan dari mereka.
semoga.

Sering
Saya mengatakan saya berdandan hanya tuntutan profesi, bukan untuk haha-hihi. Apalagi memancing lingkaran birahi. Saya melenggak-lenggok di atas sini untuk melayani mereka, memenuhi kewajiban kerja seorang saya. Bukan pamer lekuk montok di atas catwalk. Mereka menyenggol paha saya, sementara saya harus mendorong troli berat penuh hidangan. Masih punya hati kah kalian? Atau rok mini terlanjur membuat selangkangan mendominasi keadaan?

Sementara
Saya terus pura-pura tersenyum jika diantara mereka berbisik porno memelototi saya dengan pandangan yang liar memerkosa. Saya tidak merasa seksi, aduhai, apalagi murahan. Saya tidak tebar pesona, menggoda, apalagi menjual badan untuk dibayar bercinta. Sekali lagi, saya begini karena ibu dan adik butuh nasi.

Mungkin
Mereka pikir menjadi pramugari itu seksi. Menyenangkan sekali bergaya seperti model setiap hari. Mungkin mereka pikir profesi ini tidak sama dengan menyabung nyawa. Sementara saya kesepian saat malam tahun baru hanya ditemani penumpang yang tertidur, langit gelap, hujan dan suara dengung mesin. Sementara ketinggian 12.000 kaki menjadi saksi bagaimana hati ini dipalu label murahan oleh para penumpang mata keranjang.

Kini
Saya merasa tidak satupun diantara mereka yang merasa sedih, kehilangan dan menangis. Saya tidak melihat mereka menggoda, bertanya nomor ponsel, mengajak kencan, setelah pesawat menghujam ke bumi karena cuaca buruk. Air memeluk saya, mengantarnya sampai dasar. Dan tidak ada lagi suara yang menyebut saya cantik, genit, centil.Tidak juga lagi terdengar sebutan murahan.

Barangkali
Sang murahan telah ikut dibenamkan. Bersama jasad seksi yang telah terkubur, di dasar Sungai Musi.



*******

Kolaboreksi : Granito Ibrahim dan Pungky Prayitno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar