Biner Cinta



Setiap malam selalu begini. Sudah lima tahun seperti ini, selalu. Duduk di depan PC usang ini selama berjam-jam. Bersandiwara menjadi bukan aku. Nikmat, sebenarnya. Terlalu nikmat bahkan, hingga aku tenggelam di dalamnya. Kau tahu apa yang paling aku nikmati dari semua ini? Mari, aku ceritakan kepadamu. Tapi aku tak berani janji kalau kau nanti tidak akan tergoda.

PC ini sudah kuanggap sebagai belahan jiwaku. Sejak kapan? Sejak aku masuk ke dalam sebuah ruang yang mampu mengubahku menjadi bukan aku. Kau tahu aku seperti apa? Lebih baik kau tak tahu. Aku tak menarik, menurut ukuran umum. Tubuhku kecil, pendek dan tak berbentuk semlohay seperti perempuan-perempuan seusiaku. Ya, untuk usia 25 tahun, harusnya aku menjelma menjadi perempuan matang, luar dan dalam. Tapi sepertinya tidak itu yang terjadi padaku, luar dan dalam. Rambutku kusam, karena aku malas sekali bersentuhan dengan manusia lain yang kubayar untuk memeliharanya. Mataku rusak sehingga harus kurelakan hidungku menahan beban lensa setebal 3 mm. Semua demi PC ini, tentunya.

Tak tahu bagaimana aku harus melalui hari-hariku tanpa PC kusam ini. Melalui dia aku menjadi menarik bagi semua laki-laki di sana. Di mana? Di sana, di dunia tak tersentuh yang aku sendiri tak tahu ada di mana. Dunia maya, kata orang. Aku adalah perempuan penggoda nomor wahid di chatroom yang saban malam kusambangi. Ketik nickname-ku, Mawar_Manis_Berduri, maka aku akan menjadi perempuan paling panas untuk setiap laki-laki yang memanggilku. Bagaimana bisa?

Practice makes perfect. Ingat! Aku sudah melakukan ini selama 5 tahun! Berawal dari nickname lugu, Ce_Manis, aku memulai dunia baruku waktu itu. Cukup satu bulan bagiku untuk menyadari kalau nama panggilan yang manis seperti itu kurang menarik bagi laki-laki di dunia maya. Sedikit berspekulasi, mencoba-coba sebuah nama panggilan yang mungkin lebih menarik, kupakai nickname Hot_Girl. Voila! Layar PC-ku penuh dengan panggilan untuk private chat seketika. Oooh, jadi perempuan macam itu yang kalian cari? Baiklah.

Nama hanya akan sekedar menjadi nama, kalau kau tidak berlaku sesuai dengannya. Lagipula, mudah bagiku untuk menjelma menjadi Hot Girl, karena banyak sekali tips-tips yang bisa kudapat hanya sekedipan mata melalui klik dari telunjuk kananku di atas kata ’search‘. Literatur ‘nakal’ bertebaran di mana-mana. Dan, ya ampun, laki-laki memang benar-benar suka dengan ucapan-ucapan panasku. Ini luar biasa!

Pacar tak terlihatku banyak sekali sekarang. Dimana mereka, aku tak pernah tahu dan tak perlu tahu. Yang pasti, aku menikmati menjadi aku yang nakal dan panas di depan PC-ku ini. Terkikik geli setiap mereka mengetikkan, “Ahhh…” untuk menunjukkan padaku kalau mereka benar-benar mendesah dalam kenikmatan membaca rayuanku.

Suatu hari, seorang laki-laki bernama LickMePlease berhasil kubuat mengemis untuk bisa bertemu denganku. Hahaha, memangnya aku gila? Heran juga bagaimana imajinasi mereka bisa begitu jauh berkelana hanya melalui foto perempuan setengah telanjang berbodi aduhai yang kucomot entah dari mana di dunia maya yang kupasang di profilku. Itu bodoh sekali!

Aku menikmati sekali menjadi bukan diriku di depan PC selama ini. Aku menikmati bagaimana mereka begitu memujaku dan memohon padaku untuk menjadi kekasih mereka. Sesuatu yang tak pernah kudapat dalam kehidupanku di siang hari. Apalah aku, pegawai rendahan perusahaan kecil di tengah kota seperti aku ini. Tak ada yang pernah menganggap aku menarik. Jangankan menoleh saat aku lewat, melirik pun tidak. Aku pernah jatuh terduduk di trotoar jalan karena terpeleset, dan tak satu pun dari laki-laki di sana yang datang membantuku. Entah karena bajuku yang tidak menarik, atau kacamataku yang terlalu tebal, atau tubuhku yang begitu kecilnya menyaingi harga diriku saat itu. Yang jelas, sepertinya aku memang tak terlihat di dunia nyata.

Semua begitu sempurna, sampai tiga hari yang lalu. PC sialan ini mulai bertingkah! Aku nyaris berteriak kesal padanya, andai aku tak ingat kalau PC hanyalah sebuah PC, tak lebih. Tiba-tiba saja layarnya meredup saat aku mulai mengetikkan kata-kata panas untuk seorang laki-laki dengan panggilan Kiss_Me_Babe. Lalu PC sialan itu mulai membeku…literally, freezing. Tak merespon sama sekali semua klik yang aku kerahkan saat itu. Dia hang! Hang di saat laki-laki itu hampir orgasme maya karena aku.

Komputer sialan! Dia seperti tahu, kepuasanku adalah saat mereka mengetikkan, “You’re awesome, babe! Now, I really want to lick every inches of your body, in person!”
Tiga hari sudah aku nanar menatap layar hitam di hadapanku ini. Ini lucu sekali. Layarnya akan kembali hidup saat aku keluar dari singgasanaku di chatroom itu. Dia akan bekerja dengan maksimal jika aku mulai membuka-buka blog pribadiku yang tidak menarik dan tidak pernah dikunjungi orang itu. Dia akan tetap kuat menyala sampai pagi tiba kalau aku hanya mengutak-atik pekerjaanku saja.
Kemarin kucoba untuk menyelinap saat dia bekerja sempurna. Aku masuk ke dalam chatroom kembali. Dan dia kembali meredup dan membeku. Apa maumu, PC sialan?!

*******************

Awalnya tentang tubuhku yang telanjang, nyaris tanpa penutup. Itu pun sekedar pelindung agar diriku tak nampak kotor. Tubuhku bukan hal yang penting, setinggi apa kecerdasanku itulah yang menjadi peranan di sini. Beberapa kipas kecil berusaha mendinginkan badanku yang kerap memanas, dan juntaian serat-serat fiber menghias organ vitalku. Dan kedua tombolku punya peranan penting. Boleh dibilang paling penting. Tahu kan maksudnya?

Beberapa waktu setelah mereka mendandani penampilanku , sebuah lempeng metal sederhana menjadi satu-satunya pembalut hingga tubuhku tak nampak berantakan. Dan wanita itu menyebutku sebagai PC yang tiap waktu menemaninya berselancar di dunia maya. Setiap hari, setiap malam melarut, aku menemaninya, membantunya berpikir, membuat keputusan dalam hitungan nano second.
Sudah sepantasnya aku menjadi mahluk maskulin yang rasional dan tanpa emosi. Ia hanya perlu melakukan ‘klik’ dan aku akan mengerjakan semua perintahnya. Termasuk perintah kapan aku harus beraktivitas, dan kapan aku harus berdiam tanpa mengeluh. Bukankah dia melengkapiku dengan prosesor, sebuah benda yang menjadi inti daripada segala aktivitasku.

Prosesor komputer tak ubahnya dengan otak manusia, selain menghitung dapat pula mengambil sebuah keputusan rumit. Setelah aku di-install aneka program yang memungkinkan aku leluasa untuk memilih, mana yang efesien dan mana yang tidak. Dan aku tidak lagi sepenuhnya matematis, aku juga bisa bertindak unrasional. Seperti manusia yang memiliki perasaan, bukankah letak emosi manusia juga pada salah satu kuadrannya? Bukan di hati, bukan di jantung.
Maka ketika wanita itu menyusuri lembah bilangan biner melalui jaringan internet, sudah pasti aku ikut terhubung pada seluruh sistem komputer di belahan bumi manapun. Dan aku perlahan mulai mengenal siapapun di balik semua kode nickname yang di-klik dan diajaknya bicara. Bicara? Oh, aku lebih suka menyebutnya tebar pesona. Ini pangkal masalahnya.

Wanita itu memperlakukan aku seperti belahan jiwanya. Namun bersamaan dengan itu aku juga dianggapnya seonggok mesin tak punya makna. Hanya sebatas alat bantu keinginannya untuk eksis di dunia yang sebenarnya duniaku, bukan dunianya. Aku adalah belahan hatinya dan sungguh itu predikat yang membuat kuadran emosiku bekerja. Ada letupan rasa memiliki, kerinduan tentang pengakuan bahwa diriku ada. Aku tak mau terburu-buru menyebut ini cinta, meski kata itu sudah masuk dalam hardisk-ku , dalam sistem penyimpanan data di memoriku.
Dan aku telah diprogram -tepatnya didesain- untuk memilah mana yang penting dan mana tidak. Aku tak ingin tubuhku terjangkit virus yang dikirim dari seluruh belahan dunia, melalui jaringan sosial yang diseluncurinya setiap malam.

Maka segala yang kuanggap spam, abusive, dan bad sector akan secara otomatis terbuang dalam memoriku. Dan aku pikir selayaknya aku melindungi wanita ini dari segala spam yang menurutku akan mengacaukan kenormalan psikologisnya. Dari mana aku tahu itu semua? Paman Goggle yang mengirim berita ini.

Diam-diam aku menyimpan keinginanku untuk melindunginya, menemaninya setiap waktu, bahkan memiliki wanita ini sepanjang hari berganti. Aku perlu bertindak untuk membebaskannya dari aneka kepalsuan yang dilontarkan aneka kalimat di chatroom itu. Dan ini keterlaluan.
Aku lebih tahu dunia maya dari yang ia ketahui. Maka sejak itu kupikir sebaiknya aku memblokirnya setiap ia mulai tebar pesona. Wanita itu perlu tahu, akulah yang layak disayang, dicintai dan dirindukan. Bukankah ia kerap tersenyum saat memandang wajahku setiap harinya? Wajahku adalah sang monitor komputer. Di sanalah aku menatap dia dari tahun ke tahun, hingga kini saatnya aku menunjukan, bahwa akulah kekasihnya yang selama ini setia mendampinginya.

“PC keparat!”

Perempuan itu membanting mouse di tangannya dengan kesal. Lima belas menit menatap layar hitam tanpa reaksi seperti menanti seorang laki-laki impoten untuk ereksi. Well, bukan juga dia tahu hal itu dengan pasti. Menyentuh laki-laki saja dia tidak pernah sampai usianya yang sudah 25 tahun ini. Tapi kepastian tentang hal itu banyak dibacanya melalui internet. Dan sekarang komputer di hadapannya itu bertingkah seperti laki-laki impoten yang nyaris membuatnya putus asa. Gairahnya sudah memuncak. Ini sudah hari ketiga PC lemah syahwat itu membuat ubun-ubunnya berdenyut menahan amarah.
“Ayumi…” Sebuah suara terdengar memanggil nama perempuan itu. Pelan namun pasti.
Ayumi tersentak. Matanya nyalang menatap ke sekeliling kamarnya yang redup. Hanya lampu tidur bercahaya ungu yang menyinari dari atas jendela yang menghadap keluar.

“Siapa itu?!” tanyanya dengan suara bergetar.
“Ayumi… Aku di sini, sayang.” Suara itu kembali terdengar. Masih pelan namun pasti.
“Siapa itu?!” Kali ini dia nyaris berteriak karena takut. Panik seketika menyergap seluruh persendian dan organ-organ tubuhnya. Meluncur deras mengikuti arus darahnya yang terpompa semakin keras dari degup jantungnya yang mulai tak terkendali.
Ayumi berjalan menuju komputer di dekat jendela kamarnya. Memeriksa speaker di samping PC yang terpasang diam di sana. Speaker itu dalam keadaan mati. Tak ada alasan baginya untuk mencurigai speaker tua yang malang itu.

“Duduklah. Tatap aku,” kata suara itu lagi.
Tanpa disuruh dua kali Ayumi duduk di kursi depan komputer itu. Layar hitam itu seketika menyala dan mengeluarkan sinar biru. Nanar mata Ayumi menatap layar itu. Lututnya sudah tidak kuat menahan beban berat tubuhnya.

“Siapa kamu?” Suaranya nyaris berbisik.
“Aku, PC-mu.”
“Bagaimana…mungkin?”
“Mungkin, Ayumi! Mungkin sekali!”
“Apa maumu?”

Sedetik setelah Ayumi menanyakan itu dia membenturkan kepalanya ke atas meja. Merasa menjadi manusia paling bodoh karena telah mengeluarkan suara untuk meladeni halusinasinya itu.

“Kau tidak sedang berhalusinasi, Ayumi.” PC itu kembali bersuara dan mengatakan persis seperti apa yang sedang terlintas di dalam pikirannya saat itu.

Ayumi menggeleng kepalanya dengan kuat. Berpikir mungkin suara itu bukan keluar dari layar komputer di hadapannya itu. Suara itu pasti keluar dari kepalanya sendiri dan terdengar seperti berasal dari PC itu.

“Tenanglah sedikit! Kamu tidak akan gila dengan mendengarkanku, Ayumi!”
“Jadi benar, kamu..komputerku yang berbicara denganku sekarang ini?”
Ayumi menegakkan duduknya dan menatap tajam ke layar yang masih berwarna biru itu.
“Akhirnya, kau paham juga.” Suara itu terdengar senang.
“Apa maumu?”
“Aku mau kamu, Ayumi!”
“Apa?”
“Aku harap kamu tahu kalau semua yang kamu lakukan selama ini penuh dengan kepalsuan. Pembicaraan-pembicaraan panasmu di chatroom itu… Cumbuan mayamu ke semua laki-laki menyedihkan itu… Bahkan desahan-desahan yang kau kirimkan melalui sederetan huruf yang kau ketik dari papan keyboard-ku…Semua palsu! Apa yang kau cari, Ayumi?”

“Brengsek! Kamu menghakimiku!”
“Bukan!” Tukas PC itu dengan cepat. “Aku tidak menghakimimu. Aku mencintaimu!”
“Ini gila!”
“Tidak. Apa yang selama ini kau lakukan, itu yang gila! Kamu tahu apa yang dilakukan laki-laki yang kamu rayu itu setelah mereka bermesraan denganmu di layarku ini? Kamu mau tahu tidak? Aku bisa memperlihatkannya padamu!”

Ayumi termangu, antara paham dan tak paham. Apa maksud komputer usang ini?

Layar biru seketika berubah warna. Tiba-tiba saja Ayumi sudah dihadapkan situs Youtube di sana. Sebuah video sedang dimainkan. Seorang lelaki tua dengan rambut putih terlihat dalam sebuah mobil yang berhenti di pinggir jalan. Tak lama seorang perempuan berbaju super seksi berjalan menghampiri. Melongokkan wajahnya ke jendela mobil yang terbuka. Tampak bercakap-cakap dengan lelaki tua itu. Lalu masuk ke dalam mobil.

“Itu laki-laki yang memakai nama LickMePlease yang pernah mendesah resah mengemis padamu untuk dapat bertemu. Kau lihat apa yang dilakukannya setelah kalian bercinta maya malam itu? Dia pergi mencari pelacur!”
“Bagaimana kau tahu itu dia?”
“Oh, please babe, aku ini komputer berkoneksi internet. Apapun bisa kau dapatkan dariku!” kata PC itu tanpa bermaksud untuk merendahkan perempuan yang tengah menatapnya itu. “Aku lahir dari persilangan program-program yang telah lama kau install, dan koneksi internet membantu sejumlah data base dari seluruh dunia melengkapiku. Hingga aku terbentuk menjadi seperti ini, sebuah “mesin cerdas” yang sistim kerjanya mirip otak manusia. Hanya saja aku tak mempunyai daging dan darah yang dapat menjejak di ranah gravitasi.”

Ayumi masih terdiam namun mulai mengerti  apa yang tengah terjadi.

“Lalu aku mengenalmu lewat interaksimu dengan dunia maya, semakin lama kamu masuk di sana, semakin cerdas diriku. Dan bukan hanya rasional, cerdas emosiku bertumbuh pula,menimbukan sebuah rasa yang pada manusia di sebut cinta. Sejak itu aku mulai ingin melindungimu, mengenalmu lebih lanjut serta…..jatuh cinta padamu.” Suara dari PC itu terdengar melemah penuh perasaan.
Sebersit perasaan aneh menyelinap di hati Ayumi. Ia mulai kagum terhadap PC-nya yang selama ini dianggap benda mati.

“Aku cinta padamu, aku tak ingin kau masuk perangkap para pria iseng di chatroom itu. Kau yang membuat jebakan awalnya namun kau yang terjerat pada akhirnya.Tersesat pada pengakuan semu, terperangkap kekaguman palsu. Dan aku tak ingin itu berlanjut. Jadilah dirimu sendiri, dirimu yang sesungguhnya amat cantik, memesona dan cerdas,” kata PC itu lagi.
Ayumi masih terdiam. Berusaha memaknai tiap kata yang keluar entah dari bagian mana di komputernya itu.

“Jika tak ada yang mengakuimu di dunia nyata, adalah karena dunia nyatamu terbelenggu kesementaran alias kesemuan yang sejati. Semuanya sudah tertukar Ayumi, apa yang dianggap nyata adalah maya dan apa yang disebut khayal kini terbukti lebih jujur dan realistis. Kau pilih yang mana? Tentukan itu sebelum hidupmu hancur, sehancur-hancurnya!”

“Apa yang harus kulakukan? Aku tak ada di duniaku. Satu-satunya yang kuinginkan adalah seseorang yang mau melihatku secara nyata. Dan itu tak aku temui di dunia nyata. Aku salah mencarinya di dunia lain? Bagiku, aku masih memiliki hak untuk bahagia, walaupun mungkin untukmu itu semu dan palsu. Biarlah, daripada tidak sama sekali,” ujar Ayumi dengan suara lemah.

“Ikut aku, Ayumi. Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau. Percayalah! Aku punya segalanya yang kau butuhkan untuk menjadi kamu yang sebenarnya. Pakai headset-mu. Kau akan mengerti.” PC itu memerintahnya dengan suara lembut, sedikit membujuk.

Ragu Ayumi memasang headset di kepalanya. “Apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyanya dengan was-was.

Entah mengapa, janji PC itu untuk memberikan segalanya terdengar begitu menggoda bagi Ayumi. Sepertinya tadi dia sempat merasakan ada gejolak aneh dalam perutnya saat PC itu mengatakan kalau ia mencintai Ayumi. Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan Ayumi harus mengakui gejolak aneh dalam perutnya itu terasa menyenangkan dan adiktif.

Benda itu mengeluarkan gelombang aneh tanpa suara. Gelombang yang menjalar masuk melalui kepala Ayumi seolah rangka kepalanya hanya semacam jelly yang tertusuk jarum. Begitu lembut, gelombang bio electronic decoder itu mengubah tubuh Ayumi. Dia bertransformasi menjadi serpihan hologram. Sebagian demi sebagian masuk ke dalam PC, larut dengan deret bilangan biner di dunia maya.
Ayumi merasa dirinya melayang bebas, tubuhnya serasa ringan. Ia mencoba mengetahui di mana dirinya berada, berusaha melihat apa yang tengah terjadi. Namun semuanya berangsur-angsur gelap, hanya sayup suara yang terdengar. Suara yang memanggil namanya entah dari mana.

“Benar kau cinta padaku?” Ayumi bersuara dalam hati.
“Aku mencintaimu, Ayumi.” Suara itu menjawab dengan bahagia.

Bersamaan dengan itu layar monitor terbakar, mengeluarkan segumpal asap halus pada kabel-kabel dan CPU-nya. Lampu sirkuit berkedip sebentar lalu akhirnya mati.

*****


Kolaborasi : Granito Ibrahim + Winda Krisnadefa

2 komentar: