Dinda dan Aku



Aku pikir, batang flamboyan di depan kelas itu tak lagi bersahabat dengan kita. Buktinya seringkali menjatuhkan rantingnya yang kecil dan kering, saat aku dan Dinda duduk dibawahnya. Dan ranting kering itu seringkali melayang sebentar, seperti menari-nari tertiup angin. Ya betul menari-nari, meliuk perlahan, berputar, melayang lagi lalu jatuh tepat di atas kepala kita. Dinda hanya tersenyum, sementara aku tertawa sambil menengadah, jangan-jangan ada lagi ranting yang iseng mengganggu. 

Memang cuma sebatang ranting, namun sanggup menghilangkan aneka lamunan dan membebaskan imaji menguap keangkasa. Dan ini masalahnya, dari mana tadi kita mulainya? Coba kamu ulangi lagi, aku lupa, aku terlalu konsen sama ranting-ranting itu. Dan genggaman tangan kita terlepas, aku membersihkan rambut Dinda dari ranting kecil nakal yang kerap mengganggu.
Aku pikir, mengapa hanya sebuah genggaman tangan dapat menghadirkan sejumlah rasa? Bukankah sama dengan memegang batu, meremas buah jambu? Namun mengenggam tangan Dinda mirip menggenggam bola dunia. Dunia kecil milik aku dan dia yang tak seorangpun dapat masuk. Dunia entah apa namanya, tempat kita bermain, merasakan indahnya angin yang membuat kita menari. Mirip dengan sentuhan udara bergerak, menggoyang ranting kecil flamboyan yang terjatuh. Dunia di mana aku dan Dinda merasakan kebebasan dari sejumlah belenggu. Daya tarik bumi tiada lagi penting, ini bukan tentang masa, berat jenis dan aneka keterikatan benda. Ini sesuatu yang berhubungan dengan jiwa dan cinta. Sulit memahami dua kata itu dengan rumus logika, sebaris penjumlahan dan pengurangan malah membuat semuanya berputar-putar mengelilingi sesuatu yang absurd. Apakah Einstein pernah jatuh cinta?

Aku pikir, jika saja, ya jika saja ada tempat di mana semua logika terbang ke cakrawala, tentu aku dan Dinda akan berlama-lama di sana. Bukan masalah tubuhnya yang aduhai, bukan pula tentang bukit dadanya yang mulai tumbuh. Bukan. Ini masalah yang sulit diungkap dengan barisan aksara, kita pernah membicarakannya saat kita SMP dulu. Dan lututku gemetaran saat menciumnya di belakang kantin. Entah kenapa, di belakang kantin, bukan di kamar, di mobil atau di dalam bioskop. 

Sepertinya ada sesuatu yang bukan diriku saat keinginan itu timbul, keinginan untuk menyorongkan wajahku ke arah pipi Dinda. Aku mulai curiga, jangan-jangan aku kemasukan roh halus dari pohon flamboyan. Mungkin saja ada setan yang penasaran, menggoda jiwa hingga terbelalak melihat pipi terang bagai pualam itu.

Aku pikir, perlu sekantung data mengenai tumbuhan dan kaitannya dengan dimensi di luar kita. Teman-teman satu sekolahan sering terlibat diskusi hebat di kantin, seusai bel pelajaran terakhir rentang berdentang. “Ada penunggunya !” kata Pak Wasud, petugas kebersihan kebun sekolah, dan beberapa kali dia cerita mengenai hal itu, percaya nggak percaya anak-anak selalu mendengarkan. Seperti biasa, kita semua jadi ketakutan. 

Bahkan pak Wasud mengatakan alasan memakai cincin batu akik sebesar jempol orang dewasa, gunanya untuk mengusir semua roh halus, yang biasa berdiam di sekeliling sekolah. Mungkin ada benarnya, mungkin juga tidak. Barangkali hanya segelintir manusia yang mampu menjamah tentang lembaran dimensi-dimensi yang saling tumpang tindih.

Aku pikir, ada gunanya membawa sebatang ranting pohon flamboyan pulang ke rumah. Aku bertanya pada pamanku, apakah betul ada penunggunya. Paman orang pinter, sanak familiku memanggilnya dengan sebutan paranormal, tentunya dia tahu mengenai hal-hal yang berbau misteri, seperti cerita Pak Wasud. 

Paman hanya tersenyum saat memegang ranting kecil itu, lalu mulutnya komat-kamit, membaca sesuatu yang tidak terlalu jelas aku dengar. Menenggak air putih, melakukan gerakan-gerakan aneh, dan matanya terpejam sambil tangan kanannya bergerak, seolah menjamah perawan. “Sudah saya baca-bacakan. Jangan kuatir, kamu bisa membawa batang kayu ini untuk jaga-jaga,” ia mengembalikan benda itu ke tanganku yang masih gemetaran. Diam-diam aku yakin akan keampuhan pamanku, maka hilang semua rasa takutku akan cerita misteri seputar sekolahan. Dan ranting flamboyan ajaib itu pastinya lebih ampuh ketimbang cincin akik Pak Wasud. Setidaknya menurutku.

Sejak itu, aku selalu membawa benda itu jika berduaan dengan Dinda. Sedia payung sebelum hujan, bawa ranting sebelum kemasukan. Gadis berambut kecoklatan itu tersenyum geli, bahunya berguncang melihat tingkahku, yang menurutnya seperti Harry Potter tanpa kaca mata. Mau berduaan saja bawa tongkat bermantra, memangnya ingin berduel sihir? Bahu Dinda makin berguncang, hingga setitik air terbit di matanya. Dia terlalu geli, dia sungguh rasional cara berpikirnya. Mungkin rumus-rumus pelajaran eksakta telah membuat otak kirinya lebih berkembang, segala hal yang berbau klenik dianggap lelucon aktual.  

Kondisi itu lah yang membuat kami semakin dekat, seperti yin dan yang, saling melengkapi satu sama lain. Seperti jari jemari kita yang saling remas satu sama lain, menggenggam dunia kecil milik kita berdua.

Dan barangkali pula, itulah yang membuat kami ‘bertahan’ sejak duduk dibangku SMP. Sejak berduaan di bawah flamboyan hingga di bawah pohon yang sama, namun dengan seragam putih abu-abu. Kupu-kupu yang kerap melintas di atas kepala kami mungkin sudah tujuh generasi berganti, namun warnanya tetap sama, kuning terang, mengepak sayap dari dahan ke dahan.

Sejak itu, aku kerap mengunjungi rumah pacarku sepulang sekolah, membahas seputar penunggu pohon sambil menuntaskan beberapa pekerjaan. Dan beberapa kegiatan cinta mengepung kami, meramai hari-hari kami menjelang dewasa, mirip ulat yang mengelilingi dirinya dengan rumah kepompong. Tempat tinggal Dinda selalu sepi, mirip kepompong tadi. Ayah dan ibunya bekerja hingga larut malam, entah apa kesibukannya lalu menguntungkan posisiku, meninggalkan sejumlah ruang dan waktu. Bersama Dinda.

Sementara pembantu rumahnya juga sama seperti kami, dipayungi awan pubertas, pacaran dengan babu sebelah, memadu janji di bawah pohon pinggir jalan. Nah, nuansa merah muda mendominasi kamar gadis berkulit terang itu. Seperti kebanyakan warna ruangan gadis seusia kami, hanya saja tidak penuh boneka tokoh kartun. Yang menumpuk adalah buku, dvd filem bajakan, dan tebaran baju-baju ABG beragam motif warna. Dua bantal besar tergeletak, tempat aku merebahkan diri sambil mendengar lagu melankolik band lokal. Dua gelas besar teh es manis dan potongan jeruk lemon, selalu mendampingi suasana hormon belia, hingga sore hari beranjak petang. Dan seperti biasa aku lupa pulang, meski awan malam telah lewat menutup sang rembulan.

Sejak itu, menyusun foto-foto kenangan kami di sebuah album, bukanlah hal yang berlebihan menurutku. Saat kami jalan-jalan di mall, menonton pentas musik dengan dandanan ala muda mudi Jepang, hingga gambar-gambar ketika kami berkunjung ke pulau dewata dengan seluruh teman SMA. Anehnya, di setiap foto, Dinda hampir tidak pernah tersenyum, tidak seperti kebanyakan gadis lain. Berulang kali aku amati, nyaris tidak kutemui bentuk bulan sabit horisontal di rona wajahnya. Dinda bukan gadis pecemberut dan jutek namun entah kenapa selalu tanpa senyum jika lensa digital mencoba merekam kecantikannya. Dan itulah satu dari daya tariknya. Bukan Dinda yang tersenyum melainkan dunialah yang tertawa melihat sosok bidadari tanpa sayap, berbaju putih dan kelabu bawahannya. Setidaknya aku rasakan saat terakhir melihat dia, anggun, menawan. Seperti pohon flamboyan yang kerap menjatuhkan ranting dan daun sesuka-sukanya,  cakrawala kerap menghujani bermacam pesona pada gadis bermata kehijauan itu. Dan aku sulit melupakan seluruh kenangan bersama Dinda. Seluruhnya.
.
andai reinkarnasi memang ada…
aku memilih menjadi kupu-kupu bersayap kuning
terbang dari ranting ke ranting
hinggap dari bunga ke bunga kamboja
boleh sesekali merajuk menumpang reguk madu
sambil mengitari barisan batu-batu pipih berdiri
satu diantaranya
jelas terukir indah namamu disana…
DINDA.
( bolehkah aku menunggumu, hingga dunia kecil kita musnah
bersama datangnya mentari yang penghabisan? )
.
****
.

4 komentar:

  1. indah sekali.

    Dinda pasti bahagia membaca ini.

    BalasHapus
  2. makasih mas Af.....
    Dinda ikutan demen nih baca komen mas Af....

    BalasHapus
  3. @Reni:

    kalo penasaran, tuh ada fotonya bagian kiri gambar....

    BalasHapus