Sayap Ikarus Sang Bidadari




Syahdan para bidadari kahyangan turun dari langit, sang dewi betara memberikan titah untuk menjenguk bumi. Tugasnya menemani insan manusia yang hatinya dirundung sepi. Lalu menyubur tanah, menyapa laut dengan salam cinta. Menemui gunung memberi larva, agar hidup menjadi paku bumi.  Titah sang dewi disertai bisikan tentang rentang waktu. Para bidadari diberi sepasang sayap ikarus, dimana akan hilang fungsinya apabila terlalu dekat dengan mentari. Satu diantara mereka, pernah datang menemuiku, beberapa jaman yang lalu…….
.
Aku mengenangmu. Seperti mengenang hutan. Dedaunan, lebat rindang dan menjangan. Langkah kakimu seperti anak menjangan mencari air. Kaki kecil dan muda, dulu aku suka memeluknya. Rebahan bersama bantal dan aneka lelah. Betapa indah kakimu, sanggup menghadirkan tidur, mengenyahkan gelisah. Dan aku sejenak terlupa akan masa, seolah planet ini berhenti berputar. Bumi hilang gravitasi, melayang dan melayang. Terbang ke awang.



Pada udara bercampur kangen, bercampur dahaga bening telaga. Kamu mengepak sayap, mengajaku menjangkau langit, bermain di kapas angkasa. Kamu lantas mengambil bulu yang lepas, menjadi kuas menggambar pelangi, pada tirai rintik hujan. Lengkung garis, sebaris-sebaris lain warna. Pertama merah, ah pesonanya, ah bukankah itu mirip bibirmu? Segaris oranye, itu warna ikan badut kesukaan kita. Kamu menambahkan kuning, hiaju dan biru. Mari kulanjutkan dengan beberapa ungu hingga magenta. Kepak sayap ikarus, bersegeralah. Mentari mulai tinggi.

Kamu lukis pohon-pohon. Gunung. Langit dan awan. Aku lukis grafis cakrawala. Mentari. Burung dan ikan. Mana pohon mana baris gunung? Aku lukis pohon-pohon di tanah gersang. Melukis hijau pada hutan yang hilang. Tumbang, entah kapan kembali. Gunung termenung, langit mendung. Sekelompok manusia memakan hutan. Aku lukis biru langit. Awan-awan dan burung. Kicau menjerit, terbang di atas batu. Aku lukis pelangi, di atas rintik air. Sehabis hujan, menerpa jendela awan. Sebaris hujan, meruah laut.
Mata air menitik, dari sejuk gunung . Mengalir sungai malar keujung samudra. Sekelompok hewan mandi di sana, sekelompok bakau menebar akar. Laguh-lagah keloknya, angin membuatnya menari. Laguh-lagah keloknya, hingga laut berombak kacau.

(Debur ombak pecah di langit, berteriak parau. Memanggil mentari, melaknat galau. Ikan badut, hilang lucunya. Sekelompok manusia membawa potasium sianida.)

Mana laut mana ikan? Susunan karang berpesta warna. Dari barat sampai timur. Anemon dan cacing kipas, mahkotanya melambai-lambai. Ikan badut sembunyi, di antara rimbun ganggang. Bertemu kapal, merah kembang layar. Mana laut mana ikan? Sebaris kapal menyisa luka. Jangkar tajam menggurat karang. Tinggal pasirnya. Mana laut mana ikan? Terumbu karang memutih mengerang . Ribuan spesies terancam musnah, sebagian hilang ribuan tahun mendatang.


Mata air menitik, dari sudut desa. Menguap lalu mengembun. Mana gemah mana ripah? Loh jinawi tinggal prasatsi pelepah. Gemuruh membelah langit, menebar hujan sejuta parit. Menguap lalu mengembun, meluap mengibas dusun. Kebun tebu manis berlagu, rebah mendayu-dayu. Belum manis, belum kembang.  Batangnya meluruh bercampur debu.

(Payah payah peluh petani, tak jua hinggap itu pelangi. Payah payah pak nelayan, mengapa begini ini negri ?)

Kamu lukis pohon-pohon. Grafis gunung. Langit dan awan. Pada kanvas bentangan bujur bumi. Air dan tanah, setiap jengkal punya berkah. Aku lukis sungai, mirip urat nadi bercabang-cabang. Sekelompok fauna berloncatan, sekelompok flora menebar putik sari. Burung jalak di puncak cendana, wangi rantingnya hingga mayapada. Burung jalak di puncak cendana, membuat sarang hingga gelap malam. Lenggak-lenggok hutan tropis, dibuai angin timur. Lenggak-lenggok hutan jati, patah oleh seribu gergaji.

(Aku melihat tanah tandus hutan jati, anak menjangan berlari mencari minum. Rebah hijaunya, kering airnya. Anak menjangan berlari, kakinya terantuk batu…)

Kita lukis langit dengan biru air laut, awan bersih seperti putih ombak. Jala nelayan tanpa ikan, bintang biduk tersapu kabut. Angin barat datang terlalu pagi. Jala nelayan pulang, tanpa isi tanpa beban. Aku lihat beberapa kapal pulang lebih awal, layarnya surut dan kusut. Melukis langit dengan biru air laut, kulihat sekelompok nelayan cemberut, tampak peluhnya belum jua beringsut.

Dahulu kaya ini negri, pelaut-pelaut seberang membawa cengkeh dan kopi. Sebagian membeli kayu dan buah pala, beberapa lagi membayar perak dan besi. Dahulu kaya ini negri, rakyatnya makmur, hutan belum hancur. Sungai mengalir dari gunung emas, mencabang hingga ke laut bebas. Ikan-ikan riang ria, sedari subuh menunggu jala. Mentari adalah bianglala, menghijau pohon menguning padi, membuat pelaut seberang iri hati. Lumba-lumba berkejaran menebar kabar, namun senyumnya pergi saat badai menghampiri.

(Aku mendengar cerita ini, sebagian memahatnya pada candi. Sebagian lain menulis pada pantai. Segulung ombak menghapus, tinggal pasirnya…)
.
Sejak tadi, aku mengenangmu. Seperti mengenang hutan. Dedaunan, lebat rindang dan menjangan. Aku mengenangmu. Seperti mengenang desa. Kemuning padi dan senyum petani. Juga tentang laut, istana karang, ikan badut dan jala nelayan. Betapa indah saat kau pertama datang, langit purnama bulan. Di rerumputan bawah cemara, kamu duduk di sana. Dan tanganmu melambai. Jarimu mengajaku rebah di samping. Dan kamu tersenyum mendengar setiap hela nafasku. Sayap kapasmu terlipat, menjadi bantal kita berdua.

Sejak hutan sepi, kau hilang pergi. Sudah tujuh jaman berganti, kau tak pernah datang kembali. Tembang pelipur lara, sumbang kudengar dari ilalang beratap bintang. Wahai dewa bayu, sampaikan salam kangenku. Tiupkan angin kabar rindu, sampai istana cinta dewa batara. Akan kulukis bumi dengan hijau dan biru seperti sedia kala. Seperti pagi pertama pada lembayung fajar, menanti hari yang baru.

(Bidadari bersayap ikarus, di mana engkau kini berada? Aku bertanya pada bening air telaga, tempat kaki kecilmu bermain riak, membasahi kedua sayapmu….)
.
.
.
*********
.
Granito



Gambar : graphicshunt.com

1 komentar: