Sastra dan Saya




Di sebuah bar dengan papan nama seronok, menjerit-jerit silau lampunya. Memanggil-manggil mereka yang ingin melewati malam dengan sloki cinta on the rock. Memagut bibir gelas bergaram Tequila, menikmati Kahlua dalam irama disko latin yang menghentak lantai dansa. Lantai yang dikerumuni para pencari riuh, pendulang sensasi goyang musikal, berwarna-warni kilau metalik pakaiannya.

Saya sendirian berteman gurih Nachos dan Chivas bercampur cola dingin. Meski dinginnya tak membekukan tatapan saya ke arah perempuan bercelana jeans lebih rendah dari pinggulnya, membuat segaris merah celana dalamnya mengintip tanpa malu-malu. Dia bersebelahan dengan saya, sama-sama merokok, sama-sama sendirian. Dalam hitungan kesepuluh di benak, saya memperkenalkan diri. Kesendirian saya sirna sekejap. Nama perempuan itu, Sastra.

Tidak sesulit saya kira, kami cepat sekali akrab. Mungkin karena sama-sama kesepian lalu meracik pertemanan. Bisa juga sebab kebanyakan pengunjung di bar tersebut adalah pasangan, maka kami merasa menjadi anomali. Dan kami jengah menjadi titik putih di lembaran hitam, menjadi titik hitam di lembaran putih.

Tapi, sebenarnya saya sedang menikmati penuh kesendirian saya, setelah lima hari bergumul dengan pekerjaan. Mengharuskan saya berhubungan dengan banyak orang, bahkan ponsel saya tak hentinya berdering selama jam kantor. Mungkin hidup lebih tenteram andai telepon genggam tak diciptakan. Sudahlah belum tentu menghasilkan pundi-pundi ke kocek saya, malahan seringkali menambah kecemasan barang tersebut tertinggal di kendaraan umum, dicopet atau ketinggalan di ruang tunggu kantor orang.

Tapi dan tapi, Sastra mendengar ceracau saya dengan telaten, sambil memainkan gelas Gin Tonic-nya. Hampir empat paragraf saya bicara, Sastra melepas jaket jeansnya. Tank top hitam menjadi satu-satunya kain yang membungkus bagian atas tubuhnya. Payudaranya seolah meloncat keluar, saya tak melihat dia mengenakan kutang. Bola mata saya dan bayangan putingnya sama-sama melotot. Daripada hormon saya terlihat berontak, sepiring Nachos saya sodorkan.

“Nggak ah, garing!” Sastra menolak, seraya menyalakan rokok.
Sompret! Mana enak Nachos kalau lembab?
“Ya udah kalau mau basah-basahan ke pondok sewa yuk!” sanggah saya antara serius dan tidak.
“Basi ah!….Tiap cowok liat gue, ngajakin begituan melulu..”

Ini perempuan maunya apa? Apakah jelmaan malaikat yang menguji iman saya? Atau kutangnya belum kering dijemur lantas cuek keluyuran begitu? Atau pula mempermainkan saya, tarik ulur macam main layangan? Ah, sebaiknya saya diam menekuni kesendirian yang semenjak mula saya idamkan di malam ini.

Tapi, tapi dan tetapi, Sastra tak membiarkan itu, kembali dia menggoda,

“Gini ya harusnya kamu baca cerpennya Anton Chekhov, biar tutur katamu lebih sopan, lebih indah, lebih keren!”

Saya jadi bingung, kenapa dia tiba-tiba nyerocos ke masalah cerpen? Apa karena namanya Sastra maka perbendaharan tutur katanya membawa nama yang hanya ada di daftar sastra toko buku?
Ah, dia mengingatkan saya akan tokoh Nayla dalam cerpennya Djenar. Cerdas, lugas, ketus, tapi tetap tak jauh dari aura selangkangan. Sekilas nampak seksi, tapi sakit jiwa akibat ketidak harmonisan keluarganya. Atau bisa jadi Sastra adalah jelmaan Setan Merahnya Edgar Allan Poe yang sering membuat saya ketakutan saat malam jum’at. Sebaiknya saya lekas pergi dari tempat ini, menjauhi segala riuh yang semu dan menghindari teman baru saya yang rada gila: Sastra.

Baru kali ini saya sependapat dengan Joko Pinurbo, mengikuti jalan sunyi agar tak terjebak pergaulan instan yang membingungkan.

“Sastra, saya cabut dulu ya. Senang berkenalan sama kamu..”
“Eh tunggu, mau kemana?”
“Nggak tau mau kemana, cari kesunyian aja. Dan lagi…maaf ya saya sebel sama kamu!”
“Duh, kamu sensi amat sih. Emang aku omong apa sampe kamu sebel gitu?”
“Lhah, apa kamu nggak sadar ya, tadi bicara apaan?”
“Hahahaha…maaf ya, aku kan lagi mabok, udah empat gelas Gin Tonic aku tenggak. Maklumin dong..!”
“Hehe, ya udah lah, forget it all!…Bye…!”
“Eeeehhh nanti dulu….aku ikuttt dong!”
“Ngapain sih? Saya mau cari perempuan, saya mau ke pondok sewa, tauuk…”
“Aku kan perempuan. Ikut yah…yah…!”
“Dengerin! Aku mau cari perempuan buat bermalam ke PONDOK SEWA….Ok?”
   “Iya aku TAU. Dan aku MAU IKUT KAMU..!”

Kami lantas bergegas angkat kaki dari Coffeewar, melewati meja dimana Djenar Maesa Ayu dan Agus Noor berkolaborasi menulis Kunang-Kunang dalam Bir.

(Sejak saat itu Sastra mengikuti kemana saya pergi. Kecuali saat saya di kantor.)

Sastra sungguh menjadi belahan hati saya. Dan dia cantik. Seharusnya saya menambahkan kata ‘Su’ di depan namanya menjadi Susastra: berarti Sastra yang indah. Walaupun saya tak jua mengerti apa arti keindahan itu sendiri. Apakah ada di wajahnya, di tubuhnya? Atau hanya ada di kepala saya sendiri.

*****

Granito - Cofeewar 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar