Gadis Manis Gulali


Ia suka sekali membeli gulali. Makanan manis merah warna, terbuat dari air gula kental. Mengilat, merangsang mata, aromanya meluluh indra pengecap. Hampir saban hari, gadis itu menunggu kedatangan seseorang: pedagang gulali langganan. Yang mana saban siang lewat di jalan kecil depan rumah. Dan acap kali si pedagang lewat, ia segera menghampirinya. Lalu memesan gulali dengan bentuk yang sama yaitu bentuk hati. Entah kenapa tak ingin beda rupa, seperti selera anak-anak penggemar penganan gula kental lainnya.

Sebagian anak-anak lelaki kerap memesan bentuk mobil atau naga-nagaan, ada pula anak-anak gadis lain ingin wujud bunga atau kupu-kupu. Gadis kecil itu tak jua sekalipun memesan lain rupa. Namun Abang pedagang tak hendak bertanya tentang masalah bentuk. Ia hanya melayani, sesuai permintaan pembeli. Membentuk makanan manis itu dengan lincah tangannya. Seperti gerakan seni pematung yang handal, selekasnya membentuk gulali selagi panas.

Makanan manis merah dipilin panjang lalu dilingkar-lingkar, akhirnya membentuk sesuai yang diinginkan gadis kecil, seraya diberi tangkai. Senyumnya merekah selagi menggenggam gulali hati yang ia damba setiap siang. Sesekali si abang mencuri pandang tatapan gadis itu, sepertinya bertanya, kenapa musti hati? Bukankah bisa bentuk lain, boneka misalnya. Atau rupa hewan yang lucu, atau kembang atau pita-pita yang tersimpul. Tapi Abang tak ingin berlama-lama. Ia tak punya waktu banyak.

Pernah sekali-sekalinya si abang menawarkan bentuk lain, gadis itu menggeleng. Tidak ada yang menarik hatinya selain bentuk hati. Bahkan sering pula ia membeli lebih dari satu, dua atau tiga. Apakah semua untuk dirinya seorang? Tak mungkin, rasaku dalam hati. Besar gulali melebihi telapak tangannya. Namun benar, ia kerap membeli banyak.

Sementara sejauh mata memandang, aku tak pernah melihat gadis itu menikmatinya. Satu jilatanpun tak pernah hingap dipandangan. Tak seperti anak-anak lainnya, yang langsung mengunyah sampai habis, menelan semua "mobil", "bunga", "naga" dan "gerbong kereta".

Di sebuah siang, setelah sebentang kanvas kuselesaikan dalam kuas terakhir, aku menengok teras. Hendak menjumpai gadis penggemar gulali. Pintu teras kubuka, tiba-tiba dia ada persis di depanku, matanya tanpa ekspresi namun langsung bertanya,

“Apakah Paman gembira?”
“Maksud adik?” Aku terheran dengan pertanyaannya.
“Apakah Paman sedang gembira?” Ia mengulangi.
“Ya, aku gembira, lukisanku selesai siang ini…”
“Ya sudah jika begitu, Paman tak kuberi gulali.”
“Lhoh, kenapa dik?, Paman suka sekali..”
“Aku memberi gulali ini untuk yang sedih, yang gembira tak usah…!”

Si gadis kecil, lalu berjalan setelah sebaris giginya menghias senyum. Aku sedang riang, maka tak dapat pemberiannya. Gulali rupanya dibagi-bagi hanya untuk yang bermurung atau bermuram durja.
.
*****
.
Tiga hari setelahnya, aku resah. Lukisanku tak ada yang membeli. Bagaimana ini? Persediaan sembako sudah menipis, untuk sebungkus rokok pun aku harus utang. Maka, kutunggu anak itu, berharap memberiku setangkai hati manis, siapa tahu mengusir segala kegalauan, agar aku dapat melanjutkan karya. Sayangnya, hingga jelang sore kutunggu, tak jua nampak wajahnya.

Malahan aku jumpa dengan seorang anak laki-laki memegang gulali, sambil mengusap air yang turun dari matanya.

 “Kenapa nangis dik?”
 “Ketapelku hilang, diambil teman, tapi seseorang memberiku gulali ini. Aku tak sedih lagi, besok aku minta Ayah buatkan ketapel baru dari dahan jambu biji.” Bocah laki-laki menjawab seraya garis bibirnya melebar.

Lalu aku bertemu dengan tukang ojek, ia juga sedang menikmati gulali. Maka aku kembali melontar tanya,

“Apakah, Abang sedang bersedih?”
“Kok tahu?”
 “Saya hanya menebak, Mas…”
 “Memang, barusan saja saya kehilangan dompet, entah terjatuh dimana. Tapi kesedihan saya mendadak hilang, ada anak memberi gulali ini. Dan saya pikir, kalau memang rejeki, dompet beserta isinya akan kembali, saya yakin itu…”

Sejak itu, semakin hari, semakin banyak orang yang aku temui menikmati gulali hati. Aku pikir, pasti warga kota ini sedang dilanda aneka kesedihan. Aku jadi mendapat kesimpulan begitu. Namun, di mana gadis kecil yang mebagi-bagikan obat sakit rasa itu? Aku tak pernah melihatnya lagi. Heran sekali.

Nah, sebulan kemudian, siang-siang aku berjalan mencari perkakas lukis untuk menggantikan keusangan peralatanku. Mendadak aku melihat ada bangunan besar dekat pasar, bertuliskan: PUSAT GULALI KOTA.

Di sana, puluhan pedagang membuka gerai sederhana seraya menjual dan mencipta bentuk aneka manis-manisan itu. Yang membeli pun tak kalah banyaknya. Katanya, mereka rela antri dari pagi, hanya sekedar membeli sebatang atau dua untuk mengusir penat jiwa. Jelang siang seluruh dagangan habis terjual. Aku tak habis pikir melihatnya, manakala mampir kembali ke sana, sepulangku dari toko peralatan lukis. Ini kejadian aneh!

Hingga di suatu pagi yang mendung,  aku melihat orang berbondong-bondong berjalan, suara langkah mereka bergemerisik. Jumlahnya mungkin ribuan orang, berbaris rapi menuju sebuah tempat. Entah kemana aku belum pasti  Masing-masing membawa gulali hati. Rasan ingin tahu menyelinap. Ada apa?

Maka kuikuti rombongan besar itu, sekedar cari arti, tentang apa yang tengah terjadi. Maka, aku bertanya kepada salah seorang di antaranya, tapi jawabnya hanya sebuah tunjukan tangan ke arah depan. Aku semakin penasaran. Dan kaki ini tak sanggup untuk menolak henti langkahku. Aku meneruskan bergabung dengan rombongan pembawa gulali.

Hampir satu jam berjalan, sampailah pada tempat tujuan mereka. Ternyata tempat itu adalah sebuah rumah sederhana yang baru tadi malam terbakar. Habis dilalap api, bangunannya tak berupa lagi, tinggal puing-puing hitam gosong. Dan masing-masing orang meletakan gulali yang mereka bawa untuk diletakkan di pekarangan onggokan puing rumah itu.

Katanya, di sanalah tempat tinggal gadis kecil yang selama ini kerap membeli gulali dan membagi-bagikannya kepada semua orang yang sedih hati. Gadis itu turut tewas terbakar dan jasadnya tak ditemukan kecuali tulang belulang yang sudah menjadi arang.

Rasa hatiku membeku, kepalaku serasa berputar-putar. Selekasnya aku pulang, tak tahu apa yang musti kuperbuat. Kesedihan yang meraja di dada, seperti ombak tsunami menerpa sekujur tubuh. Peristiwa tadi diliput sebuah stasiun TV. Aku menontonnya sesampai di rumah sambil merinding, membayangkan kisah hidup gadis kecil yang malang yang selama ini menyenangkan banyak orang, dengan membagi-bagikan gulali. Kepada mereka yang murung, mereka yang kecewa, dan mereka yang sedang berduka lara.
.
*****
.
Seminggu kemudian, kejadian tragis itu mulai kulupakan. Selesai melukis, aku duduk di depan TV seperti biasa setiap sore, mencari berita terkini. Aku lihat Bapak Presiden berpidato tentang kesejahteraan rakyat di Istana. Bicaranya penuh semangat sehingga mengundang gemuruh tepuk tangan. Setelahnya, Kepala Negara mengakhiri uraiannya lalu berjabat tangan dengan beberapa pejabat yang hadir. Bapak Presiden menyalami setiap orang dengan wajah serius, tatapannya tajam. Sepertinya menampakan kesungguhan yang amat dalam.

Tiba-tiba, seorang gadis kecil nyelonong di antara orang-orang penting itu. Bukan menyalami sang Pemimpin, melainkan memberikan setangkai gulali hati. Bapak Presiden menerimanya dengan senyum merekah, air mukanya berubah cerah. Tapi, sorot matanya menjadi sayu seperti membendung sesuatu. Seketika tayangan dialihkan kepada sang penyiar stasiun TV tersebut.

“Demikian laporan kami dari Istana Negara, pemirsa budiman sekalian. Selamat sore…” kata sang penyiar mengakhiri berita.
.
*****
.
.

4 komentar: