Sepenggal Kisah Masa Lalu

.

Jika saja taman mungil itu masih di sana, tentu aku sudah semenjak tadi menangkap capung-capung yang kerap beterbangan di sana. Capung-capung berwarna hijau dan kuning, bersayap bening, mengayuh udara, seolah berenang di angkasa. Kadang bersembunyi di balik ilalang, warnanya tersamar dengan bunga rumput yang tumbuh liar. Pelangi yang hinggap di cakrawala, membuat capung-capung datang semakin banyak, berputar-putar mencari sejumput keindahan yang menari di sore hari. Beberapa ekor mulai mencari pasangan, berkejaran dan tidak mau kalah oleh kehadiran para kumbang.

Jika saja taman mungil itu masih di sana, tentu aku sudah mengajakmu ke sana, mencoba menangkap capung yang terbang dengan tangan kosong. Dan tentu saja tak seekorpun tertangkap genggaman kita, capung-capung itu sungguh lincah, justru kitalah yang diajak berputar mengelilingi taman, menjenguk kesederhanaan suka cita. Sebagian batang ilalang rebah karena lari langkah kakimu yang kecil, namun tumbuhan itu tak mengeluh atau mengaduh, aku lihat sejenak mereka bangkit kembali.  Sesudah kaki-kakimu menjauh. Sementara tanganmu masih menggapai mahluk yang berenang ria di angkasa jingga.

Aku masih ingat gaunmu yang melambai, gaun motif bebungaan cerah warna sebatas lutut, hingga kedua kakimu nampak jelas. Beberapa kumbang terkecoh mencoba menghampiri lembar tetoronmu, bukan hanya motif bebungaan yang mengundang, melainkan bau wangi tubuhmu menyergapnya pula. Aku masih ingat itu. Dan ketika dedaunan putri malu meredup rekahnya, kau mengaduh. Duri-duri kecil telah menggoda lincah langkahmu bukan? Dan kamu meringis bukan karena rasa sakit, kamu menyembunyikan uap manja yang menyelinap dari hatimu. Sebaiknya aku pura-pura tidak mengetahuinya.

Aku masih ingat, ketika aku mecoba melepas duri dari telapak kakimu, duri yang sesungguhnya tiada pernah ada. Namun kamu tetap meringis hingga membuatku galau dan lalu kamu tersenyum nakal, centil menggoda. Sebaiknya aku pura-pura tidak mengetahuinya. Seperti capung-capung yang masih berseliweran, pura-pura tidak mengetahui keberadaan kita di taman mungil itu. Apakah kamu bersekongkol dengan mereka? Aku lihat pelangi meredup warnanya, rupanya tetes air membawanya pergi, ke arah cakrawala yang mulai temaram. Lihatlah, siluet capung-capung itu, sepertinya mereka saling berbisik, lalu meninggalkan kita berdua. Capung-capung bernaluri alam, menyerap semua gelombang kasih, yang merebak hingga ujung sana.
.
Jika saja taman mungil dan dirimu masih ada, pastinya kita akan berlama-lama di sana. Hingga petang menjelang, lalu samar rembulan membawa sepenggal kisah kita di masa yang terdahulu.
.
.

3 komentar: