Sang Ayu



Siang-siang, aku berharap pedagang cendol lewat. Biasanya sehabis duhur melintas depan rumah. Namun sudah lima minggu tidak terdengar denting belnya. Ting-ting, ting-ting, meggugah dahaga. Cendol legit lembut, gurih santan. Manis merah gula, bercampur nangka. Serutan es menambah sejuk mulut, melega kerongkongan.  Siang-siang ini, belum juga lewat.

Ting-ting, ting-ting. Gerobak cendol biru terang, rodanya terus bergerak. Sejarak yang ditempuh, ting-tingnya bergoyang pula. Anak-anak kecil sering mengerumuni, saat singgah di depan sekolah. Sebagian meminum langsung cendolnya, beberapa minta dikemas plastik bertali sedotan. Sebagian bayar, beberapa belum. Satu di antaranya membayar dengan uang logam. Lalu terjatuh kedalam wadah cendol.

Mbak Inah, gadis penjual cendol, menulis logo pada gerobaknya. DAWET AYU, begitu tulisannya. Seayu mbak Inah, semanis merah gula. Jika lewat jalan depan rumahku, beberapa pengemudi taksi yang mangkal bersiul jahil. Melihat geyal-geyol mbak Inah, mendorong gerobak dawet. Suit-suit…

Siang-siang, aku berharap dawet ayu lewat. Ini lidah rindu mengulum legit cendol, digurih santan kelapa. Terbayang dawet, air liur mulai rinai. Seperti kemayu tetes embun pagi.  Anak-anakpun mulai resah, ting-ting belum datang. Satu diantaranya mulai mencari, di pelosok jalan, setiap sudut pangkal. Padahal uang logam sudah siap, pada setiap kantung celana kumal. Namun ting-ting belum lewat juga.

Mungkin mbak Inah sakit, mungkin pindah berdagang. Tukang ojek coba menerka, apapun tebakannya, bisa saja terjadi. Bukankah bumi berputar, seperti roda gerobak biru terang? Pikiran galau hinggap di pangkalan taksi. Ada yang menggigit bibir, menahan suit-suit jahil, menahan rindu geyal-geyol pinggul manis merah gula.

Rasa bersalah hinggap di hati seorang bocah, barangkali mbak Inah marah, setelah ia menjatuhkan uang logam kedalam kuali cendol. Bocah itu berjanji, kelak jika dawet ayu mampir, segera meminta maaf bertubi-tubi. Pak Udin, pengemudi taksi berperasaan sama, ia kerap menggoda gadis dawet ayu. Siapa tahu ngambek, lalu enggan melewati jalan itu. Padahal Pak Udin tidak bermaksud memperolok bahkan melecehkan. Ia hanya iseng, sebagai laki-laki normal yang mempunyai kebisaan mensiul. Suit-suit…
Seorang tukang ojek menyiapkan secarik surat, mewakili teman-temannya. Berjanji tidak akan menyatakan cinta sembarangan, apalagi di depan banyak orang. Ia merasa gurauannya keterlaluan, berlebihan, kampungan. Mungkin gadis dawet ayu itu terluka perasaannya. Dipermalukan secara semena-mena. Hancur hatinya, keruh perasaannya.

Bahkan, ada yang menulis larik puisi, isinya tentang rayuan, agar mbak ayu kembali berdagang. Syair ditulis ala teka-teki silang, berharap yang baca makin mendalam penghayatannya. Ada pula pengamen yang khusus mencipta lagu, berbau Peter Pan, mendayu-ayu. Dari ujung jalan hingga tembus jalan lain, semuanya berharap gerobak biru terang itu segera kembali, semuanya rindu akan cendol. Dan geyal-geyol.
Seminggu berselang, ada kabar tentang dawet, mbak Inah mengalami celaka. Gerobak disenggol bajaj, masuk selokan. Kabar lain, seorang pengusaha kaya raya, menikahi gadis dawet ayu, untuk dijadikan istri ke empat. Lain lagi, si manis merah gula, pulang kampung. Menikah dengan brondong pujaan desa, lalu menjadi wira usaha, mendirikan café dawet ayu. Entah mana yang benar, semakin hari semakin banyak berita tersebar.
.
ting-ting, kemana mata kan mengerling ?
ting-ting, cita dan cinta kadang tak seiring
sang ayu oalah Gusti…
kemana hilang lenggok pinggul berisi?
selarik doa tersembunyi pada kantung kumal celana,
tak apa sobek kecil menganga
sang ayu oalah Gusti,
cerita jalanan akan melegenda…
.
wadah cendol menjadi teluk belanga kelak
ting-tingnya adalah siul burung prenjak
gerobak sang ayu menjadi gunung tinggi
geyolnya adalah goyang hutan jati
sang ayu oalah Gusti,
cerita jalanan mulai melegenda…

*****

1 komentar: