Siluet Tubuh Anjani



  Cahaya mulai temaram, matahari sedikit lagi terbenam dari arah utara. Alde meletakan layang-layang yang baru saja ia terbangkan. Anjani mengusap kakinya yang penuh pasir pantai, setelah keduanya asik dengan kesukaanya masing-masing.

  “Laut itu mengerikan, Anjani.”
  “Masa sih, apanya yang buat kamu takut?”
  “Bukan takut kayak orang takut hantu lho….maksudku misterius.”
  “Buat aku sih, eksotik. Apalagi jelang Sunset begini.”
  “Cahayanya iya, tapi lautnya tetap mengerikan. Lihat ombaknya deh..”
  “Alde, justru ombaknya punya sensasi tersendiri. Lihat deh orang-orang malah seneng banget mandi buih ombak..”
  “Apa kamu gak bayangin, berapa dalamnya, ada apa di sana, dan seterusnya..”
  “Aku malah merasakan kedamaian di sini, De.”
  “Iya sebab Jakarta macet, di sini lenggang. Nggak kerja serius pula..”
  “Bukan itu..”
  “Trus..?”
  “Ada kamu di sampingku, ada suasana yang membuatku betah. Angin, laut, Sunset dan kamu..”
  “Ya aku juga merasakan itu, tapi ini masalah laut. Maksudku just talk about the ocean.”
  “Soalnya kamu gak bisa berenang…makanya lautan jadi menakutkan. Iya kan?”
  “Mungkin iya juga.”
Anjani mengeluarkan 2 kaleng minuman dingin, sari jeruk tanpa soda dan cappucinno. Alde menggulung benang layangan, lalu meletakannya dengan hati-hati di sebuah tas karton.
  “Aku heran deh, kamu kan suka piara ikan. Bahkan hidupmu hanya untuk ikan, kayaknya…”
  “Gitu doang cemburu..dasar leo girl.”
  “Yeee, nggak gitu Cintaaa…. Kamu obsesi banget sama ikan hias laut plus terumbu karang. Lhah ngapain sekarang bilang laut itu mengerikan? Cowok aneh deh, kamu.”
  “Mungkin ada sesuatu di alam bawah sadarku. Aku juga ngerasa aneh. Harusnya aku super gembira di pantai ini. Mustinya malah nyebur, bukan main layangan…hahaha..”
  “Nah tuh nyadar…”
  “Dulu aku bercita-cita jadi penyelam dan kalau nonton filem tentang ocean life, aku exicted banget. Gak tau kenapa pas besar begini seolah-olah laut seperti rumahnya monster. Ikan paus, tsunami, tenggelamnya kapal-kapal, badai, hantu laut, mitos tentang gurita raksasa….phewww….”
“Segala hal kalau bisa dilihat dari sisi gelap-terangnya, postif-negatipnya. Kadang makin besar kita, alam bawah sadar kita lebih gampang merekam hal-hal yang negatip.”
  “Yes you are right. Inget kan jaman kita puber dulu, persepsi kita tentang cinta begitu indahnya. Sekarang ada sejumlah kekhawatiran yang menyertai. Katakanlah soal perceraian, kematian pasangan, ketidak harmonisan rumah tangga. It is so scary, dear..”
  “Aku ngerti jalan pikiran kamu, makanya kamu agak takut mendengar kata ‘pernikahan’ ya?”
  “Ya gitu deh…”
  Anjani tahu betul apa yang dirasa Alde, Anjani berharap beberapa teguk cappucinno dingin dapat membuat Alde sedikit rileks. Lalu Anjani mengajak Alde merekam siluet tubuhnya dengan kamera. Momen matahari bergulir keperaduan adalah berharga. Beberapa saat kemudian pantai menghitam, cahaya bulan hanya sedikit membantu menguak wajah-wajah belia. Beberapa pasang insan masih berbaring di atas pasir, terutama mereka yang jauh-jauh datang dari Jakarta, termasuk Alde dan Anjani.
  “Aku merasa berat badanku nggak ideal deh. Keliatan kan De?”
  “Enggak juga, udah nimbang blum berapa kilogram sekarang?”
  “Belum, aku takut lihat angka timbangan….”
  “Gimana mau pasti kalau begitu? Nggak bisa cuma dikira-kira. Tapi menurutku sih sama aja.”
  “Ah, kamu cuma nyenengin aku. Suer, aku males nimbang badan.”
  “Lihat sendiri nih di kamera, kamu nggak berubah…”
  “Manaaa….”
  Alde bergegas memeluk kameranya menghindari tatapan Anjani lalu mencoba lari, sejumput pasir terhambur. Anjani bersungut-sungut mengejar, meraih tangan Alde, tapi luput. Keduanya berkejaran tanpa peduli langit yang kelabu, laut yang segelap sumur raksasa. Bahkan mereka tak peduli tentang rembulan yang malu-malu bersinar.
“Alde jeleeekkkkk…..”
“Hahahahaha…..siapa suruh nggak PeDe?”
“Ihhhh kamu tuhhhhhhh…!”
Stay here, aku mau cari minuman dulu…”
No way, di tasku masih ada. Jangan coba-coba ninggalin aku sendirian…”
“Iya tapi udah nggak dingin, aku mau cari yang dingin…”
“Plis deh Cinta, ini juga masih berembun. Bentar….”
Minuman jeruk kalengan tak bersoda, satu cappucinno yang hampir menjadi hangat keluar dari tas Anjani bergambar bunga-bunga ungu.
“Tahun depan aku bakalan jarang di Indonesia, Jani..”
“Terus…?”
“Iya, sesuai yang aku rencanakan. Januari aku harus di Jepang, belajar Iwagumi. Mungkin tiga bulan di sana, setelahnya ke Hawaii ikut seminar tentang ikan hias laut. Terus, mungkin ke San Diego dan Monaco, ada seorang Profesor Oceanografi yang aku kejar.”
  “Oh jadi juga ya. Udah siap-siap dong…?”
  “Masih ada waktu buat nyiapin segalanya. Empat bulan ini aku harus belajar keras, termasuk belajar berenang….hehehe…”
  “Okay, kamu belajar berenangnya sama aku aja, trus nanti aku ajarin juga diving yah!”
  “Snorkeling aja deh….di Hawaii nantinya juga nggak harus diving kok..”
  “Ya udah, pokoknya well prepared kamunya. Aku temenin kalau perlu apa-apa, kecuali saat kamu nggak mau diganggu ya.”
  “Mmmm…iya. Tapi jadwal pemotretan kamu gimana? Bukannya makin padat ya jelang akhir tahun?”
  “Enggak juga sih. September ini emang agak sering, bulan-bulan berikutnya aku nggak tahu. Dan lagi itu bisa diatur, aku nggak terikat kontrak apa-apa. Agency biasanya telepon dulu, akunya bersedia atau enggak.”
  “Eh, balik ke Vila yuk, di sini udah gak asik nih. Lagian aku mau mandi, habis itu kita ke kafe di pinggir pantai Marbella.”
  Alde melipat kaki tripod dan memasukan kameranya ke tas. Anjani mengenakan baju handuk, menutupi tubuhnya yang mulai kedinginan. Mobil Alde parkir tak jauh dari tempat mereka rebahan, seorang anak penjual layangan membantu Alde mengeluarkan mobilnya, hari semakin gelap, salah-salah bisa menabrak batang kelapa.
    “De, layangannya udah kamu bayar kan?”
   “Sudah. Kan aku beli lima tadi…”
   “Duh, banyak amat. Buat siapa aja?”
   “Hehe, buat ponakan-ponakan. Lihat deh Jani, banyak restoran dan Vila yang sepi ya…”
 "Peak Season kan udah berakhir, yang berkunjung mungkin kayak kita nih, kurang kerjaan…hahaha.”
  “Haha, enak aja. Kita kan sambil kerja. Eh tapi benar tuh, emang nyari-nyari kerjaan. Sambil menyelam, cari duit…hahahah..”
  “Memang foto-foto tadi bisa diduitin?”
  “Lihat aja nanti. Setelah aku olah di komputer, terus dicetak dan dibingkai, kamu lihat aja sendiri, layak jual atau enggak..”
  “Tapi wajah aku tersamar kan, nggak terlalu jelas terlihat kan?”
  “Oh itu pasti, aku hanya butuh siluet badan kamu. Aku nggak mau jual foto wajah manis kamu sembarangan…”
  “Nanti mau kamu tawarkan ke mana?”
  “Pastinya ke temanku James. Masih inget nggak sama James?”
  “Yang punya galeri lukisan itu kan? Yang kita ketemu di Mal Pondok Indah itu kan?”
  “Iya betul. Seratus buat Anjani!”
  “Eh, gak tau ya. Kok dia sama kamu kayak sama pacarnya ya? Dia gay bukan?”
  “Hahahaha….kenapa. Sama gay cemburu kamu?”
  “Bukan gitu. Masa cowok sama cowok cipika-cipiku gitu sih, mana depan umum pula?”
  “Dia teman aku dari kecil. Dulu kita tetanggaan. Adiknya James, si George itu sahabat aku.”
  “Iya, aku mulai ingat, kamu sepertinya pernah cerita. Eh, Aldeeee….di depan itu kita ke kiri lho. Kita udah sampai.”
  
   Alde melambatkan mobilnya, persis di gerbang Vila kendaraan itu masuk perlahan. Hanya ada beberapa mobil yang parkir. Di sekelilingnya ada ratusan pohon nyiur tumbuh teratur, daunnya menimbulkan gemerisik bunyi. Vila yang berseberangan dengan pantai suasananya sepi dan hanya diterangi oleh beberapa lampu taman. Alde menghentikan kendaraannya persis di samping Vila tempat mereka bermalam. Keduanya turun masuk ke kamar lalu bergantian membasuh badan, suara curah air dari shower tertelan bunyi tarian dedaunan kelapa.

   Waktu berjalan demikian cepat, jam sudah menunjukan pukul sebelas malam ketika dua orang muda itu duduk di sebuah kafe. Masing-masing wajahnya diterangi sinar dari layar laptop, seorang pelayan tampak ramah mengangkat piring-piring yang telah kosong. Lantas meletakan satu kopi susu ala Vietnam dan secangkir coklat panas.
   “De, aku lihat di facebook, James itu temenan sama Reinhard -koreograferku. Sepertinya dia juga aktif di dunia modeling ya?”
   “James dulunya model catwalk seperti kamu, setelah kepala tiga usianya dia terjun ke dunia senirupa. Tapi sekali-sekali masih jadi model buat kalender. Dan dia tahu banget soal pendidikan fesyen, kakaknya yang cewek, Mathilda, tinggal di Narita, Tokyo. Sebab itu aku mau kamu ambil short course desain fesyen di Jepang nanti, jadi kita bisa barengan belajar di sana. Mbak Mathilda nanti aku hubungi, cari jadwal workshop-nya, kalau kamu mau.”
   “Aku mauuu, De. Daripada tabunganku gak jelas buat apa, mending dipakai belajar kayak kamu ya..”
   “Nah gitu dong Sayang. Gak selamanya kan kamu bisa jadi model dan coba hubungi dosen pembimbing kamu, apa bisa ambil cuti buat semester berikutnya. Setahun kita bareng belajar ke luar negeri, mumpung ada waktu dan kesempatan. Juga duit….hehehe.”
   “Iya deh, setahun itu aku ikut kamu yah. Tapi gini De, kamu…..apa kamu gak ingin nikah?”
   “Ehemmmm………”
   “Jawab dong Cintaaa…..jawabbb….!”
   “Nikah itu pasti…Jani-ku, pujaan hatiku, belahan jiwaku…”
   “Lebayyyyyy…….”
   “Aku serius, kali ini super serius.”
   “Serius gimana? Cerita! Ngomong dong, kasih tau aku, apa yang kamu mau…”
   “Iyaaa, aku pasti nikahin kamu, after we going back. Aku sudah bicarakan ini sama orang tuaku, juga orang tua kamu…OK?”
   “Hah?….Kapan kamu ngomong sama Mama-Papaku? Kok aku nggak tau?”
   “Hahaha…mana aku tahu? Emang mereka nggak bilang sama kamu apa?
  “Sumpah, nggak ada pembicaraan apapun dari mereka. Kemarin pagi nyokap telepon juga kan…kamu juga denger kan….tuh dia nyantai aja….Ini gimana sih?”
   “Aku nggak ngerti. Pokoknya aku sudah bicara panjang lebar sama beliau….Tanya mereka deh kalau nggak percaya…”
   “Ya ampun, aku kok kayak mimpi ya. Aldeeee….are you serious dear?”
   “Hahaha……..”
   “Aldeeeee………….”

   Kafe itu menjadi berisik sebab ulah kedua insan yang saling meragukan sekalikus ingin memastikan, tentang jalan panjang yang akan mereka lalui. Jalan panjang yang tentunya masih akan bercerita seberapa terang dan gelapnya, seberapa naik dan turunnya. Seperti gambar di sebuah foto: siluet tubuh Anjani yang menyimpan misteri. Misteri tentang keindahan yang mereka ciptakan dan mungkin akan terus mereka buat, semasa hati mereka saling setia, akan belahannya masing-masing. Satu dan lainnya ibarat siang dan malam, saling melengkapi meneruskan hidup setiap nafas di bumi ini.
“Yuk kita balik ke Vila, Jani. Udah tengah malam nih.”
“Bentar, De. Mumpung di sini WiFi-nya bagus. Aku lagi buka situs..”
“Situs apa?”
“Situs tentang ramalan zodiac. Aku mau lihat, Gemini sama Leo cocok gak ya?”

*****

“Halo George, ini James…”
“Yes Bro, how are you?”
“Sudah dengar soal Alde dan Anjani?”
“Dengar soal apa?”
“………….”
“James….Halo James….”
“Oh my God………….”
“Ada apa James?….Halooooo….!”
“…Si Alde……s…a….Anj..ni……”
“Iya kenapa?…Putus-putus suara kamu…”
“……………..”
“James, ada apaaaaaaaaaa?”
Tut…..tut……….tut……….tut………….

*****

Granito, Anyer 2012.

2 komentar: