Dear Fidel
Aku sudah pulang
kampung. Beberapa hari di pinggir sawah aku termenung. Bingung. Kata
Bapakku, aku kayak orang linglung. Jalannya aja limbung. Malahan hampir
masuk kolam ikan, kecemplung.
Kemarin
aku nyaris jegur sumur saking malunya. Soalnya sudah terlanjur omong ke
Bapak sama Ibu, sudah pula beritakan ke teman-teman sekampung. Bahwa
aku mau bawa kamu, bahwa aku mau kenalin kamu ke semua orang. Mau
berbangga hati sebab punya pacar kamu. Tapi gak jadi. Bertepuk sebelah
tangan, gayung tak bersambut. Kecewa. Frustasi. Mau bunuh diri. Tapi Bapak
bilang, "You are too young to die, but too old to Rock'n Roll".
Artinya apaan sih?
Untung
Bapak mencegah aku mati muda. Kolam-kolam ikan itu dikasihkan ke aku.
Obat penawar cinta sebelah hati, katanya. Ya, aku terhibur. Sebab
ikan-ikan itu mulai pada bunting. Mungkin tiga hari lagi bertelur.
Seminggu kemudian bakal menetas telur-telurnya. Kolam yang satu, ikan
Maskoki. Yang sebelahnya, ikan Guppy. Warna-warni. Cerah-cerah elok
kibasan ekornya, lambai siripnya, pigmen sisiknya. Fidel pasti seneng
deh, kalau melihatnya.
Aku dan 12 Pacarku
“Aku menyukai senja sekaligus
membencinya. Senja mengingatkan aku akan kedatangan dan perpisahan. Waktu
terasa begitu lamban dan membuat segalanya samar-samar,” ujarnya ketika hujan
usai. “Bacakan sesuatu, sebab aku belum tentu dapat mendengar suaramu lagi esok
hari.”
#1
Aku
sebenarnya kurang tahu apakah Anton adalah pacar pertamaku. Yang jelas
teman-teman yang mengatakan bahwa Anton menyukaiku. Pada saat bersamaan, aku
merasakan hal serupa: ingin terus-menerus melihat wajahnya. Apalagi dia
orangnya pemalu.
Aku
suka laki-laki pemalu. Bisanya hanya mencuri pandang dan kelihatan gemetar
tangannya ketika pura-pura meminjam penghapus. Apakah aku –sebaliknya, lebih
agresif?
“Sebaiknya
putri Ibu jangan pacaran dulu. Bagaimanapun dia masih SD,” ujar wali kelas
ketika memanggil orangtuaku.
Kelereng Merah Jambu
Aku
punya tetangga namanya Tono, umurnya 12 tahun. Sama dengan usiaku. Ia suka
bermain kelereng. Kelerengnya banyak sekali, diletakkan dalam toples bening
bekas kue. Tono adalah teman bermainku sehari-hari. Hobi kami sama, bermain dan
mengoleksi kelereng aneka warna.
Tono
mempunyai adik perempuan, Tini namanya. Usianya 4 tahun lebih muda dari
kakaknya. Tini manis, aku suka melihatnya, kala ia bermain tali atau
bernyanyi-nyanyi di taman rerumputan rumahnya. Tono sangat sayang dengan adiknya.
Acapkali Tini diajak pula bermain kelereng di taman itu.
Suatu
hari, Tini bosan bermain tali. Sambil menunggu Ibunya pulang dari pasar,
iseng-iseng ia mengambil toples kelereng Tono. Dikeluarkan isinya, hingga
berantakan kelereng-kelereng itu terjatuh. Tini malah senang, melihat benda
bulat kaca meloncat-loncat dan berlarian. Ia tertawa-tawa kegirangan.
Anak Haram
“Anak haram, gadis kampung!…Kau bukan saudaraku. Kau anak tukang roti, bukan putri Ibu!”
Keduanya
berhadapan dengan pistol terarah ke masing-masing kepala lawannya.
“Jatuhkan
senjatamu atau kutarik pelatuk ini!”
“Haha…lakukanlah
semaumu, sebelum kau mampus!”
Klik…
Klik…
“Aku ingatkan
sekali lagi, menyerahlah jahanam. Semua yang kau perbuat sudah diketahui!”
“Tahu apa
kamu?! Semua informasi itu salah, dan kini kita adu cepat dengan nasib. Biar
malaikat maut yang memilih, kau atau aku! Lihat dia menunggu di pojok sana.”
Dhuar!…
Pertamakali Melihat Pacar Mandi
Perempuan, kampus dan hura-hura adalah tiga hal yang tak dapat saya lepaskan semasa awal di perguruan tinggi. Ketiganya mempunyai kenangan dan sensasi tersendiri.
Merokok di kelas juga bisa. Makan, minum dan membawa radio
tape selama pelajaran dihalalkan, asal tidak membuat huru-hara, kurang ajar
atau overacting. Satu-satunya aral melintang adalah Ibu dosen mata kuliah
sejarah. Beliau mengharuskan kami berpakaian rapi, melarang makan minum di
ruang belajar, apalagi merokok. Bukan karena kelas ber-AC, melainkan pengajar
ini memang bergaya jadul dan otoriter. Jika melanggar aturan, kami disuruh
keluar ruangan. Maka kami menyebut dia: The Natural Born Killer.
Tetapi mau nggak mau saya harus berbaik laku dengan dosen
itu. Pasalnya, putri beliau adalah teman sekelas saya yang jelita. Namanya
Menul, wajahnya imut-imut, berhidung mungil, dan alisnya tipis memanjang.
Tulang pipinya kecil menonjol, matanya kecoklatan besar mirip boneka. Cara
bicaranya ‘njawani’. Dan kerap membantu saya, mengerjakan tugas kampus yang sepuluh gudang jumlahnya.
Dinda
Saat SMP aku punya teman sebangku yang lucu dan rupawan. Namanya Dinda. Anaknya cerdas luar biasa, hingga disayang para guru dan dikagumi teman-temannya termasuk aku. Kami bersahabat, atau dapat dikatakan melebihi sahabat. Semakin hari semakin erat hubungan kami hingga terbersit rasa saling cemburu, rasa saling kangen dan sedikit perasaan ingin memiliki.
Suatu hari aku
menyubit pipi Dinda di kelas saat pelajaran sejarah. Sebab ia membacakan
sajakku keras-keras. Seisi ruangan tertawa karenanya. Saking malunya kucubit ia
hingga merah merona pipinya. “Aaauuuwwww….” jeritan Dinda terdengar Ibu Guru,
lalu Ibu Guru segera menghampiriku dan menyubit pinggangku lebih kuat lagi.
Kini Dinda yang
tertawa, sekeras teman-teman lainnya terbahak-bahak. Saat itu kami masih
belajar di bangku sekolah menengah, dan pelajaran sejarah adalah hal yang paling
membosankan. Pernah Ibu guru sejarah bercerita dengan rekannya sesama guru, ia
juga bosan mengajar di sekolah kami. Sudah tiga tahun gaji beliau tidak kunjung
naik. Aku mendengarnya dari balik ruangan kala dihukum akibat mencubit Dinda
kali ke dua.
Si Dia
di penghujung malam
dia memandang genang air kolam
ikan-ikan koi berbisik-bisik sambil
menyelam,
”apakah dia ingin wajahnya terbenam?”
di kolam itu bulan separuh pualam
tenggelam
tak ingin muncul pada langit kelam
seperti dia tak kunjung dapat menggenggam;
sebongkah cinta hanyut terseret arus jeram
"kasihan dia –menabung rindu serasa semu
rajam."
*****
Jakarta 2013
Langganan:
Postingan (Atom)