“Aku menyukai senja sekaligus
membencinya. Senja mengingatkan aku akan kedatangan dan perpisahan. Waktu
terasa begitu lamban dan membuat segalanya samar-samar,” ujarnya ketika hujan
usai. “Bacakan sesuatu, sebab aku belum tentu dapat mendengar suaramu lagi esok
hari.”
#1
Aku
sebenarnya kurang tahu apakah Anton adalah pacar pertamaku. Yang jelas
teman-teman yang mengatakan bahwa Anton menyukaiku. Pada saat bersamaan, aku
merasakan hal serupa: ingin terus-menerus melihat wajahnya. Apalagi dia
orangnya pemalu.
Aku
suka laki-laki pemalu. Bisanya hanya mencuri pandang dan kelihatan gemetar
tangannya ketika pura-pura meminjam penghapus. Apakah aku –sebaliknya, lebih
agresif?
“Sebaiknya
putri Ibu jangan pacaran dulu. Bagaimanapun dia masih SD,” ujar wali kelas
ketika memanggil orangtuaku.
Yang
kedua namanya Roy. Sekarang entah di mana dia. Ketika ada acara reuni SMP, Roy
tidak datang, padahal aku ingin sekali bertemu setelah sekian lama berpisah.
Saat SMP nama Roy kutulis berulang kali di buku harian. Sedangkan nama aku,
kata dia, tidak ada di buku hariannya. Dia tidak suka menulis. Tapi, halaman
terakhir di setiap buku pelajarannya ada muka aku dalam coretan kartun. Dia sendiri
yang menunjukan padaku, juga pada teman-teman. Aku jadi malu.
“Si
Roy, pacarmu itu sekarang sudah jadi seniman. Mengembara kerjaannya. Aku pernah
bertemu di pedalaman Kalimantan,” ujar Vina ketika reuni, “dia sedang mempelajari
tato orang-orang Dayak.”
“Kamu
sendiri ngapain Vin, di sana?”
“Waktu
itu aku tugas jadi dokter. Aku lihat lengan kanan Roy ada rajah bergambar muka
kamu dalam bentuk kartun.”
Benarkah
muka aku? Roy fanatik gaya jepang jika menggambar. Setahuku, dalam aliran manga setiap visual perempuan terlihat
sama; bermata besar, tapi hidungnya hanya segaris lengkung kecil, dan rambutnya
berjuntai berlebihan.
#3
Namun,
hubunganku dengan Roy hanya sebatas perasaan. Sama sekali kami belum pernah
bergandengan, apalagi berciuman. Kira-kira setahun kami saling suka, setelahnya
Roy lebih asyik dengan hobi menggambarnya. Sebab itu aku jadi dekat dengan
teman kelas sebelah, namanya Didit. Anaknya cakep, bulu matanya lentik seperti
perempuan. Rambutnya rapi dan kesukaannya menyanyi. Suaranya membuat aku jatuh
hati.
Teman-teman
memanggilnya Didit PKI, gara-gara dia kurang percaya Tuhan. Pasalnya, ibunya
yang selalu mengantar-jemput Didit meninggal ketika kami masuk tahun kedua di
SMP.
“Kalau
memang Tuhan Maha Penyayang, mengapa Dia tidak sayang sama aku?” katanya dengan
mata sembab, “buktinya Dia mengambil Ibuku cepat-cepat.”
Kasihan
Didit, sejak itu menjadi anak yatim dan ayahnya tidak pernah pulang, bahkan
saat pemakaman ibunya. Didit akhirnya pindah ke Semarang, sekolah di sana dan
dibesarkan oleh Bude-nya. Sebelum kereta malam membawanya, sepucut surat
diberikan padaku, isinya tentang hatinya yang selama ini hanya terisi oleh dua
nama: nama ibunya dan namaku.
Aku
menangis. Bukan hanya soal kepergiannya, tetapi teman-teman yang keterlaluan
men-cap-nya dengan sebutan PKI. Mentang-mentang namanya mirip dengan ketua
partai komunis tersebut. Huh!
#4
Menjelang
ujian akhir SMP, aku sering dikunjungi Roy. Tapi bukan Roy yang suka menggambar
itu. Ini Roy juga namanya, anaknya bule, keturunan Jerman. Jika malam minggu
tiba, dia kerap berkunjung ke rumah, berpakaian rapi layaknya orang dewasa.
Matanya kebiruan, rambutnya ikal coklat keemasan.
“Welcome...
welcome..,” kata bocah-bocah kecil tetanggaku. Roy dikira turis kesasar.
Sayangnya,
orangtuaku kurang menyenangi Roy bule, sebab kami beda agama. Padahal dia
jenius, juara kelas dan juara SMP selama tiga tahun berturut-turut. Orangtuaku
khawatir, jika hubungan kami berlanjut sampai jenjang pernikahan. Sebab, ayah
dan ibu saya dahulu juga sudah saling menyukai ketika masih seumuranku.
#5
Sejak
SMA dan perbedaan agama menjadi penghalang, aku menjadi perempuan yang pemilih.
Aku bertanya terlebih dahulu kepada setiap cowok yang menunjukkan gejala-gejala
naksir,“Agama kamu apa?”
Rasanya
ganjil bertanya seperti itu, dan teman-teman SMA juga memandang aneh kepadaku.
Sudah pada kenyataannya di sekolah kami terdiri dari anak-anak dari berbagai
agama, golongan sosial dan suku yang berbeda. Apakah Sumpah Pemuda dan
Pancasila hanya sebatas pelajaran sejarah saja? Untuk urusan cinta, ternyata semua
hal jadi lebih kompleks urusannya.
Untungnya
ada Umar, dulunya dari pesantren, pandai mengaji dan rajin beribadah.
Orangtuaku senang dengan Umar, malah lebih senang ketimbang diriku sendiri pada
Umar.
“Kamu
akan masuk surga kalau pacaran sama dia,” ujar Vina, temanku sejak SD.
“Iya
Vin, aku sudah jadian sama dia. Tapi bukannya di agama Islam kita dilarang
pacaran?” jawabku, “berarti Umar sudah melanggar agamanya sendiri?”
#6
Umar
masuk IPA saat penjurusan, aku memilih IPS. Hubungan kami merenggang dan
akhirnya lenyap tertiup waktu. Di kelas IPS aku dekat dengan Leo, cowok tinggi
besar yang sedari awal mencuri perhatian. Seperti angin pula, kisah aku dan Leo
cuma tiga bulan. Dia meninggal akibat kecelakaan motor.
#7
Kesedihan
tidak gampang berlalu, dan aku masih menyimpan kenang-kenangan dari Leo: kalung
perak hadiah ulang tahunku. Dan selama itu, Vina lah yang kerap menghibur,
menemani, dan sering bermalam di rumah.
Anehnya,
lama-lama justru aku menyukai Vina. Cewek tomboi yang selama ini menjadi teman
berbagi perasaan dan pikiran. Juga selalu melindungiku ketika ada orang-orang
yang mengganggu, terutama waktu kami jalan-jalan.
Suatu
ketika dia menginap di rumahku dan mengungkapkan rasa cintanya padaku. Entah
kenapa waktu itu aku menggangguk saja. Hampir saja bibirnya menciumku. Tiba-tiba
pintu kamar terbuka, adikku tanpa permisi masuk mengambil novelnya yang kupinjam.
Esoknya,
orangtuaku menasihati, bahwa hubungan kami bukan hubungan yang sebagaimana
seharusnya. Seketika itu aku sadar, aku mulai menyukai sesama jenis. Mungkin
trauma berhubungan dengan laki-laki atau entahlah...
#8
Vina
menghilang, pindah sekolah karena malu, selain kepada orangtuaku juga terhadap
gunjingan teman-teman. Aku juga malu, dan memutuskan untuk cari SMA lain. Lalu terdampar
di sekolah yang dekat dengan rumah. “Biar gampang diawasi,” kata ayah.
Masalahnya,
yang mengawasiku bukan hanya beliau, namun laki-laki tetangga baru kami di sebelah
rumah ikut-ikutan. Laki-laki yang seumuran dengan ayah, seorang duda, yanga
sudah lama menaruh hati padaku. Itu menurut celoteh teman-teman tetanggaku. Dan
aku percaya.
Sebenarnya
tidak soal bagiku tentang perbedaan usia, toh yang seumuran juga bermasalah. Sebab
itu, diam-diam aku menjalin hubungan asmara dengan laki-laki itu.
Kemudian
terdengar kabar, bahwa laki-laki tersebut sebenarnya sudah mempunyai istri. Aku
sungguh tidak mengetahui. Yang aku paham adalah, dia guru sekolahku sendiri.
Sedangkan istrinya bekerja di luar kota. Mana aku tahu?
Akhirnya
aku kena damprat istrinya, dianggap merebut suami orang dan menghancurkan
mahligai perkawinannya. Aku lantas mengundurkan diri dan minta maaf. Tapi
untungnya ayah dan ibuku tak tahu menahu permasalahan ini. Aku jadi benci
setengah mati dengan guruku itu.
#9
Masa
mahasiswa tiba, aku masuk perguruan tinggi dan menjadi sedikit bebas bergaul. Hari-hari
menjadi begitu menyenangkan, sebab banyak rekan senior yang bertubi-tubi
menyatakan cinta. Kali pertama dalam hidup, aku merasa cantik.
Aku
jadian dengan ketua senat, orangnya bersikap dewasa, sebentar lagi lulus
sarjana. Sambil kuliah dia merangkap bekerja paruh waktu sebagai jurnalis.
Karena kesibukannya itu, justru dia belum pernah bertandang ke kediamanku.
Padahal aku ingin sekali mempertemukannya dengan orangtua. Siapa tahu direstui.
Tak
dinyana, ketika ada pernikahan saudaraku, si pacar juga hadir. Usut punya usut
dia masih punya pertalian darah dengan keluarga kami. Jatuhnya malah saudara
sepupu. Aku terkejut bagai terkena setrum voltase tinggi. Dia apalagi.
#10
Sampai
lulus sarjana, aku malas pacaran. Giliran orangtuaku kebingungan, bagaimana
bisa anak gadisnya menjadi dingin macam lemari es. Beberapa kali keduanya
bertanya serius apa yang terjadi sebenarnya dengan diriku.
Saking
paniknya, aku akhirnya dijodohkan dengan anaknya teman ayah. Pada saat ini
cinta bukan lagi masalah perasaan. Cinta menjadi semacam matematika, penuh
perhitungan dan mengalahkan seluruh gejolak hormon. Demi amannya, demi
kelanggengannya. Barangkali.
Baru
dua minggu berkenalan, anak teman ayahku itu langsung ingin melamarku. Namun aku
menolaknya mentah-mentah. Walau rasioku berjalan sebagaimana komputer canggih,
aku belum siap menikah. Dan lagi ternyata perasaanku pada akhirnya menjadi
penentu.
Aku
malah memilih teman kantor yang lebih tampan, lebih mapan dan lebih membuat
nyaman. Tiga tahun kami berpacaran, lalu...
#11
Jodoh.
Ada hal-hal yang telah digariskan. Kita boleh punya kemauan, tetapi bagaimana jika
suratan Yang Kuasa berkehendak lain?
Pacarku
khilaf, membuat hamil sekertarisnya.
Sepertinya
ini musibah lagi. Begitu lah yang aku rasakan. Dunia berkeping-keping rasanya.
Sebelum hancur luluh, muncullah sebuah jalan terang. Di mana aku tak peduli
lagi, di mana aku tak mampu mengeja lagi soal C-I-N-T-A. Ibarat malam semain
pekat, diujungnya fajar siap merekah.
Dia
datang lagi, setelah sekian lama.
Roy...
#12
Mungkin
Roy lah cinta pertamaku, dan sekaligus babak akhir halaman. Kami menikah
setelah pacaran satu tahun. Benar kata Vina, di lengannya ada rajah bergambar
wajahku, meski berupa kartun manga.
Tato
itu mulai memudar, dia berusaha menghapusnya dengan berbagai cara. Roy ingin
menjadi seniman yang biasa-biasa saja. Sama sepertiku: tidak ingin mempunyai
keinginan muluk seperti dahulu.
“Sejak
umroh bersama Didit PKI itu, aku mulai malas aneh-aneh,” katanya sambil
mengenakan baju koko untuk solat Jum’at. “Malahan, Didit sudah haji sekarang,
kamu sudah dengar?” tambahnya.
Ah, sebenarnya ini bukan
pengalamanku sendiri, namun aku ceritakan padamu agar kau tahu kisah ibuku dari
catatan hariannya. Dulu beliau suka menulis, sekarang lebih banyak waktunya
tergeletak di tempat tidur. Belakangan ibu sakit-sakitan, maka kubacakan lagi tulisannya
saat muda dulu, sebagai hiburan. Beliau sudah banyak lupa.
Sebaris senyum menggaris wajah ibu
ketika nama Roy kusebut-sebut. Nama ayahku yang tak pernah kulihat semenjak aku
lahir, kecuali dari foto-fotonya.
“Senja membuat segalanya samar-samar. Bacakan
sesuatu, sebab aku belum tentu dapat mendengar suaramu lagi esok hari,” ujar
ibu pada suatu hari ketika cakrawala bercahaya ungu-lembayung.
*****
Jakarta, 2015
Terharu....membacanya,... sempat juga menghitung ya? 12 pacar.
BalasHapusouwww... :(
BalasHapusArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
BalasHapusHalo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)
Game Terbaru : Perang Baccarat !!!
Promo :
- Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
- Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup
Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino
Situs Login : arenakartu.org
Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
Min. DEPO & WD Rp 20.000,-
INFO PENTING !!!
Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.