Cendrawasih melayang bak sutra selendang melambai, menyapa nyiur menyapa pantai merah pastel. Menjenguk gunung-gunung emas berdampingan sekawan tertancap di tanah, tempat lautan terumbu pesta warna karang menggapai langit biru. Terpantul di riak gelombang lagu nelayan. Kebyar-kebyar corak layarnya menepuk pipi ikan-ikan berloncatan, menunggu jala menunggu salam dari ganggang. Dan lambai mahkota cacing kipas serta kilau pulau-pulau, berserak di sepanjang lintas pelangi katulistiwa.
(tapi bukan kami punya, seru anak-anak berlarian menyeret mainan dari buah jeruk bali)
Sekelompok harimau Sumatra mengendap mencari sembunyi dari desing peluru, walau gema merdeka terdengar lantang puluhan tahun lalu. Sebelum Jalak Bali hilang kicaunya, sebelum lumpur-lumpur menjadi menara tinggi. Di antara puing-puing rumah dan tangis yang mengendap di bebatuan perak, di sawah-sawah mengering, sebab peluh petani tak kunjung usai. Bulirnya terjatuh pada padang-padang vanila ranum harum meluruh ke meja-meja mahal, tempat sekelompok orang berbicara tentang sejahtera tanah negeri sambil tertidur di bantal angka-angka rekening.
(tapi bukan kami punya, seru anak-anak tak berbaju dengan ketapel mungil di dadanya)
.
Ada permata dalam lapis bumi ini, ada
minyak yang wanginya membuat negeri seberang iri hati. Ada cahaya
keemasan di sungai-sungai, butirnya terdulang tangan-tangan payah tak
menjangkau pendarnya. Meski generasi berganti setebal jumlah buku pada
perpustakaan cendekia, dengan gelar hingar bingar celotehnya.
Bangku-bangku perguruan tinggi menjadi istana kebenaran, kelabu
bayangnya menutupi atap-atap bolong sekolah terpencil. Hingga tembus
matahari segaris menerangi kaki telanjang pelajar yang terengah-engah
memeluk aksara dan mimpi, dalam sekejap saja menjenguk pada tidur
malamnya. Malam-malam yang menebar kunang-kunang di hutan-hutan patah
oleh seribu gigitan dengkur gergaji, membangunkan reptil tertinggal dari
jaman terdahulu. Lidahnya menjulur kelu menanti punah membelah sebentar
lagi.
(tapi bukan kami punya, seru anak-anak jalanan yang lupa siapa nama ayah dan ibundanya)
.
Terumbu karang di raja ampat iri hati dengan komodo, jalak bali
mencurah rasa pada harimau Sumatra. Pantai-pantai menggugat tambang
emas, nyiur lupa wajah anggrek, batu bara melarikan diri ke lereng
Semeru, katulistiwa malas menyapa rembulan sebab pulau-pulau membenam
diri pada halaman-halaman kosong pura-pura tak kenal nelayan hingga
ikan-ikan sungai Kapuas terbang bersama nuri Papua menjenguk kawah tiga
warna yang kini suram tertutup mendung awan.
.
Riuh lengkap lampu-lampu pijar siang-malam di panggung layar televisi kristal cair. Serupa tarian badut
dengan kaleng dan bola-bola berputar. Tersenyum ia -terbahak di balik
topeng tebal rias melipat wajah-wajah di sudut kota dan desa masai,
meluluh liur petani terjatuh pada segenggam nasi kemarin hari. Berbagi
dengan ladang cengkeh, berbagi dengan hamparan kelapa sawit dan kopi
dari barat hingga ujung timur. Mirip pasar maharaja di taman firdaus,
tersusun tiap jengkalnya dengan semua dan semua yang tak terbilang. Lalu
menjadi mainan sekelompok manusia, membuatnya menjadi dadu dilempar di
meja judi dengan gelak tawa dan denting anggur serta asap cerutu dari
balik bibir serigala berbaju tuxedo. Dikelilingi gaun gemerlap
wanita-wanita rambut akrilik, yang menjerit-jerit dicubit dan ditindih
hingga esok hari. Sebelum tenggoroknya tersekat sabit Izrail.
.
(tapi bukan kami punya, seru anak-anak yang tak jadi lahir, meski nafas mereka pernah ada!)
.
*******
.
Tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang
telah merelakan masa mudanya terbenam diperjuangan membela tanah tumpah
darah ini, sehingga saya bisa leluasa bernafas jauh dari asap mesiu.
Untuk mereka pula yang mencucur peluh memelihara laut dan daratan meski
tak kunjung dihargai, tak pula dihormati. Betapa Tuhan sebegitu
pemurahnya, hingga saya bisa berkata, “Aku punya negri yang setiap
jengkalnya adalah permadani mutiara dan penuh dengan makanan serta
minuman..Langitnya begitu indah menebar sinar dan hujan yang
berdampingan bagai kedua sayap malaikat surgawi.”
.
Juga saya persembahkan kepada mereka yang masih
lelap tertidur di kasur tua hingga belum menengok ke jendela terang,
dimana suara-suara dari kejauhan memanggil-manggil kita untuk senantiasa
memeluk, menyayangi dan memelihara setiap jengkal tanah yang kita pijak
ini. Bangunlah teman-temanku, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku….
sebelum ada yang datang dan mengambil semuanya ini lantas kita tak kan
dapat memberi apa-apa, buat diri kita, buat anak-anak kita, buat
cucu-cucu kita sekarang, esok dan kelak nanti.
Salam Sejahtera
hi tukang ikan.....................opps salah hi mas gran :D
BalasHapusHai juga... :)
BalasHapus