Libur sekolah seindah nilai rapor:
kali ini tak ada angka 6 terselip di barisan 7, 8 dan 9
“Bagus!” guruku senang, Ibuku apalagi.
Sebuah cium hinggap di pipiku,
cium kebahagiaan: kemenangan buatku.
.
Satu kelompok besar pensil kelir menjadi hadiah,
o sungguh mewah!
Serupa pelangi jatuh, barisan warna kini kugengggam
siang kupandang, kusimpan kala malam.
“Bagus!” aku tak kuasa membendung sorak,
sambil tiduran aku berteriak.
.
Kuraut ia agar tajam, siap ditoreh
kupandangi bentuknya, air mata ini meleleh.
.
Andai saja,
setiap suku bak warna
baik betul bersanding rupa.
.
Andai saja,
setiap agama dikata sama
Indah rasa di setiap dada:
anak-anak nusantara
anak-anak khatulistiwa
anak-anak Indonesia
anak-anak kepak garuda.
.
“Bagus!” kata teman-temanku
membaca sajak pertamaku
yang kutulis dengan pinsil kelir sepuluh warna.
.
“Lihat, dia belum menggambar!”
“Tengok, anak itu malah bersajak!”
“Seharusnya dia membuat sketsa, bukan menulis..”
“Sia-sia…apa yang tlah diberikan orangtuanya..”
“Anak yang aneh..!”
“Kecil-kecil begitu, bagaimana kalau besar?”
Orang-orang sibuk berkomentar,
setelah aku menggambar sepuluh sajak
dengan seratus warna.
.
Hatiku gundah, tak mampu mencerna
apa yang mereka kata.
Aku tertidur berbantal kertas sajakku,
“Bagus!” kata H.B Jassin dalam mimpiku.
(Siapakah dia? Wajahnya mirip dengan seorang Paus.)
.
.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar