Kamu bercerita tentang malam, namun aku
merasa kini kita mulai menjauh. Tapi entah kenapa hati kita begitu tetap
merekat luluh. Mirip dua sayap kunang-kunang yang biasa kita lihat saat
kita bermain di antara ilalang, di bawah tebar gemintang jauh. Kau
sering mengajaku berlarian di sana lalu merebah di sebelah pepohonan,
menatap angkasa malam dan rembulah separuh. Ingatkah kamu, ada satu dua
daun yang jatuh? Dan kamu bilang pohon itu melepas sauh. Agar kita tak
pernah kemana-mana menjauh. Agar kita tetap di sana, saling melihat
rembulan dan membuang jauh-jauh aneka keluh.
Aku pikir bau tubuhmu mungkin
kulupa, namun lekukmu tak hilang dari setiap indra perasaku, bukit
dadamu yang mulai tumbuh dan desahmu bagai memanggil sang rembulan. Dan
kamu berbisik kembali, sini kuceritakan satu kisah. Kemarin, aku
melihatmu senyum manis sekali. Kita lama bercerita. Bercerita tentang
apa saja tanpa jeda. Cerita tentang kamu. Tentang aku. Cerita tentang
kita. Tentang cinta. Semua bak nyata.
Kunang-kunang membawa lentera,
menjadi rinai cahaya di tengah purnama. Dan kamu tertawa setiap
kunang-kunang itu terbang di wajahku.
Suatu sore di ujung telaga rawa yang sepi, kita berjingkat diam-diam mencuri waktu untuk sekedar duduk dan memadangi pendar kunang-kunang. Semakin petang, puluhan hewan berlentera itu menerangi kita, begitu dekat menerang. Terlalu banyak kesempatan yang kita habiskan percuma dan sia-sia. Terdiam kaku dalam kikuk yang janggal. Harusnya aku bisa memulai sapa atau sekedar mengulurkan dekapan tangan yang hangat. Mungkin kita masih terlalu muda untuk mengawali semua, kala itu.
Kamu bercerita tentang pagi ketika
lembayung fajar merekah senyum dan kita masih di sana, rebahan di antara
ilalang. Kamu bilang, barangkali kita seperti pelangi. Sinergi adalah
segalanya. Titik air dan pendar mentari. Absurd. Antara ada dan tiada.
Simulakra. Dan kita bermain di sana. Lihat, lihat di sana! Di balik
pohon, pelangi terpancar.
Di balik bias surya yang mulai
timbul, kita mencari lukisan sosok kita yang tercetak di sebelah perahu
awan. Bergoyang. Meski sekedar siluet.Ungu bayang ilalang, angin menepi
awan. Menampak burung- burung terbang mencari makan. Lalu kamu
mencubitku sambil berbisik, kemarilah kasih, sibak tirai keraguanmu.
Aroma tubuhmu menggoyang sukmaku.
Hey, mendekat kemari. Lebih
dekat lagi! Kubisiki satu cerita masa lalu kita yang mungkin kau lupa:
kini disampingmu, dan ini bukan kisah bukan cerita. Biarkan jemariku
bermain di antara pori-porimu. Bukankah jendela hatimu hanya terbuka
untukku?
Waktu terlalu cepat berlari, hingga
terang menepi dan petang sedang menjenguk hari. Bulan lelah, malam ini
dia tak nampak dan larut mulai meninggi. Lengang malam menggantung di
luar jendela langit. Hampir pagi kita bercerita diselingi tawa yang
berderai-derai renyah, padahal udara mulai dingin. Embun perlahan
menetes. Antara gigi yang bergemeletuk, tetap ku lanjutkan cerita.
Sayang kalau malam ini berakhir gantung.
Sayap kunang-kunang kini mengepak,
melaknat galau, menghadir takdir. Seribu kunang-kunang lainnya tertawa,
memeluk kisamu dan kisahku lalu melipatnya dengan selimut beledu. Tak
sia-sia ini malam, tak bersisa setiap hela nafasku pada hangat tubuhmu.
Bukankah kau suka?
Kita cukup tahu apa yang tengah kita
perbuat. Kita sudah bukan lagi remaja tanggung yang serba canggung.
Kerlip kunang-kunang menemani kita menghitung bintang dan menggambar
rasi. Lenguh nafas yang saling pacu dan lelehan keringat dipucuk hidung.
Rerimbunan gulma menyatukan kita pada satu sensasi yag akan kita kenang
selalu. Mungkin hingga selamanya.
Kau. Kau ulung dalam merayu. Mahir
membuatku tersipu malu. Ada satu yang menyergap di sini. Tau apa? Satu
rasa sederhana namun mampu hadirkan kelu. Ada yang hilang saat kau lama
tak kembali.
Duduk kemari dan simak dengan teliti.
Kau pencuri! Kau pencuri hati. Pencuri waktu. Pencuri rindu. Pencuri
segala. Kau curi aku. Masih juga tak mau mengaku?
Kunang-kunang menghilang sedari tadi, dan kamu tertawa setiap aku kembali mencari kemana kunang-kunang itu pergi.
Lentera mungil bersayap tak perlu
dicari. Dia akan tahu tempat mana yang butuh cahaya, itu katamu. Aku
tergelak. Kau lucu kalau memberengut jika pendapatmu tak kuiyakan.
Sekali waktu kamu memaksaku
menemanimu mengintip anak-anak ikan gabus dan berburu telur katak di
rawa. Aku tak terlalu suka jari hingga betisku berlumuran lumpur dengan
genangan air yang entah berasal dari mana. Kamu tercepuk-cepuk menangkap
gabus-gabus kecil yang terkepung jalamu. Kupikir itu sedikit sadis. Aku
lebih suka berdiri di ujung jembatan kayu yang mulai lapuk sambil
melihatmu yang terbungkuk mengacaukan kumpulan telur katak yang seperti
busa. Kecipak air dari kakimu memercik mengotori sebagian atas bajumu.
Aku memilih menggelar handuk kecil yang kubawa untuk tudung kepala,
kemudian duduk menghindari sengat keemasan sang surya.
Tengah hari sebentar lagi akan
lewat, kita berjalan pulang bergandengan. Amis air kotor menguar dari
bajumu, dari celanamu yang sengaja digulung hingga lutut, dari tanganmu,
dari pipimu, kurasa juga dari busung dadamu. Kamu begitu bacin dan bau
matahari tercium dari rambutmu. Entah kenapa aku begitu nyaman dengan
semua aroma yang ada padamu meski tidak kusuka. Jika tahi kucing rasa
coklat bagi orang yang sedang jatuh cinta, itu pulalah yang berlaku
padaku. Aneh.
Malam memulai selesar cahaya bundar.
Entah kemana perginya semua kunang-kunang yang biasa hinggap di ranting
kayu kering. Agaknya malam ini mereka berimigrasi menerangi orang lain.
Aku mengumpat. Aku bilang kunang-kunang bukan makhluk setia. Kamu hanya
terdiam dalam posisi duduk melingkari perapian yang kita nyalakan.
Percik baranya melayang sesekali.
Sebenanya malam ini aku ingin kita
berdiskusi. Membahas apa saja. Tapi tidak membahas hubungan kita yang
sudah sedikit menyimpang. Aku lebih suka kejadian itu menjadi rahasia
saja, kurasa kamu juga sama. Ada kalanya satu kesalahan yang disengaja
tak perlu kita gubris agar tak timbul resah. Lagi pula kita bukan lagi
belia belasan yang tidak tahu resiko yang kita perbuat. Kita
melakukannya tapa beban. Sudah. Kurasa itu lebih dari jelas.
Kamu bilang, kamu harus pergi.
Menikah dengan orang lain dan memiliki satu anak saja. Kamu memilih
menghabiskan harimu dengan bekerja pada kota padat yang sesak,
menurunkan kantong belanjaan dari mobil, sesekali memasak di pagi hari
untuk orang yang menikah denganmu jika sedang libur. Aku tak menyela
ceritamu. Wajahmu terlihat cemas menunggu reaksiku.
Kamu berbisik lembut memastikan apakah aku baik-baik saja. Jelas aku tidak baik-baik saja!
Tapi aku tidak boleh terlihat sedih. Aku bilang, aku bisa mengerti dan
tidak apa-apa. Kamu mengangguk lalu mendekat menghampiriku. Rangkulan
tanganmu begitu kuat, kau menciumku lembut. Awalnya hanya satu kecupan
di kening. Lalu menjalar pada tengkuk, telinga, dada, hingga kita
terlena lagi pada lenguh dan erang yang sama. Tubuh dan keringat kita
menyatu.
Sambil membetulkan letak kancing
bajumu, kau bilang ini akan menjadi awal dari kehidupan yang akan kita
jalani sendiri-sendiri. Apakah ini akan jadi akhir dari semua yang telah
kita lewati? Akan semua harus dikubur dalam kenangan, bersama gemericik
air rawa, kecipak katak yang berenang, dan bias sinar kunang-kunang?
Kau mengangguk dalam sedih. Matamu berkaca-kaca. Aku mencoba menahan
rutuk juga kutuk.
Dalam selang waktu yang terhitung
lama, semua berjalan lancar seperti yang kita harapkan. Aku tak sedih
melepasmu karena aku memang mencintaimu. Dengan segenap jiwa!
Namun, satu waktu muncul rasa yang
tak bisa kubendung. Sepi menyergap tiba-tiba. Menelikung dari belakang
dan menghempaskanku dari pertahanan yang kubangun rapat-rapat. Perusak
itu bernama Rindu.
Berhari aku mencoba mengenyahkan rindu
yang tak pantas. Tapi kenangan mengajakku melangkah pada papan kayu di
ujung rawa. Bayang dan angan tentangmu membawaku terbang. Dahan kayu
rapuh terjatuh, ciptakan bingar di alam yang sunyi. Mati-matian kucoba
menguatkan hati. Aku memeluk bayangmu dan tidak pernah merasa sesepi
sekarang. Hari mulai kelam, bersama rinai gerimis yang merintik aku
tetap menanti kunang-kunang.
*****
Ditulis Oleh: Granito Ibrahim + Santy Novaria
ntar baca, titip jejak dulu :D
BalasHapusWah aku seneng banget baca tulisan ini, campuran cerita dan puisi..... salam kenal mas
BalasHapus