: Kepadamu yang setia memandangi jubah kelabu tempat sembunyiku…
Telah lama kuperhatikan dirimu
yang senantiasa menanti hadirku. Pijar bola matamu saat melihat jubahku dari
kejauhan adalah isyarat bagiku untuk segera menemuimu. Sekiranya kita mampu
bertemu, tentu saja telah kubisikkan banyak kisah padamu. Namun kali ini
biarkan sahabat sejatiku yang bercerita, berbisik pelan-pelan sambil
mempermainkan anak-anak rambutmu. Ia banyak tahu tentangku, pun aku telah
berbagi padanya.
Mulaku dalam rupa barisan kristal
dari putih buih samudra yang menapaki tangga kapas-kapas udara biru. Meluluh
bersama gemuruh, menjadi selendang bening yang menyapa sejuk gunung. Sebagian
menghening telaga cermin pendar cakra keemasan, sebagian berkelompok bernyanyi
dengan bebatuan menggulung selaksa oksigen menggapai kehidupan sejumlah tebaran
akar. Akupun tak jemu bercengkrama dengan setiap lapis kedalaman lalu meruah ke
celah-celah litosfer. Seluruhnya aku menjelma menjadi setiap bentuk yang
kusinggahi, kujelajahi, lalu menyatu pada lingkar rantai nitrogen memeluk
setiap nafas mahluk yang ada.
Kemudian pada tanah-tanah yang
rekah serupa kelopak mawar kurebahkan diriku. Menyelusup, mencari sela di mana
partikel-pertikelku bisa menyatu dan merekatkan kembali pelukan bebutir coklat
yang berserak, lalu menguarkan aroma rindu yang mendamaikan hati. Aroma yang
menjadi penanda orkestra para katak tak lama lagi dimulai.
Tahukah kau jikalau
bergelantungan dari kelopak ke kelopak adalah permainan yang begitu kugemari.
Menggelitik jemari mungil reranting yang menengadah. Berputar pada dahan dan
cabang sebelum diam-diam menyelinap diantara bulu akar, menyusuri aliran-aliran
pembuluh, membawa pati fotosintesis yang kelak akan menjadi buah ranum nan
menggiurkan mata kanak-kanak. Pendar kejora di mata bulat mereka adalah tabuhan
riang bagiku saat aku harus terlepas dari helai-helai daun dalam rupa yang tak
lagi nampak oleh mata. Melayang ringan.
Angin barat setia meniupku
melanglang induk muara bersama bulan biru, melepas tirai menyapu bintang biduk.
Kapal-kapal nelayan memeluk tepian dermaga, tiangnya berayun hingga berkelok
kemayu. Lepas sudah ruahku pada penghujung hari menjelang baru, memeluk bukit
dan gunung, menggenang bening sebuah telaga. Di saat itu, aku melihat anak
menjangan mencari lepas dahaga, kaki kecilnya riang menari menghampiri. Tampak
lembayung fajar sudah menanti dengan cerah harapan bagai gerak roda pedati.
Keriangan paling nyala kala
anak-anak kecil menyambutku sembari bermain dengan daun pisang. Mereka membuat
payung sambil tertawa-tawa, angin meniup seruling berlagu tentang suka cita.
Dan sekelompok hewan berteduh di lebat hijau, bulunya merengkuk memeluk hangat.
Bias-bias cahaya yang mulai temaram sesekali memantul pada tapak pematang,
kemuning padi bulirnya merebah mesra meliuk merenda asri. Burung branjangan
kini terbang tinggi, menanda hari senja yang menepi.
Setelah bertukar rupa beribu kali
dalam hambatan udara, kubiarkan diriku istirah pada kepala-kepala yang serupa
ladang, lesap dalam pori-pori atau kembali terbang usai berselancar pada helai
rambut yang beraneka warna. Tak jarang kudengarkan keluhan akan kepala mereka
yang berdenyut usai bersentuhan denganku. Ada sebagian lain pula yang
membiarkan sekujur tubuhnya kuyup oleh titik-titikku. Manusia-manusia itu
membenciku dalam rindu atau merinduku dalam benci, entah.
Kesedihan pun kadang menyapaku
saat menyadari butiran beningku telah bercampur unsur kimia yang membuat namaku
bertambah kata, asam. Rasanya ingin menahan laju tubuhku agar tak menerpa
rerumputan dan tetumbuhan, sebab aku bisa mendengar rintihan mereka yang
menampah tubuhku. Namun, aku tak bisa menolak suratan. Saat aku harus jatuh
maka jatuhlah aku. Jumlah butiranku yang berlindung dalam rahim langit sama
sekali tak mampu melawan angka sembilan koma delapan yang ditetapkan Newton.
Dibutuhkan atau dibenci pun, telah menjadi jalanku untuk menyapih bumi dengan
kuntum-kuntum beningku. Dan aku tahu, dirimu adalah salah satu yang selalu
merindukan hadirku.
Kepadamu yang setia menunggu hadirku dibalik jubah kelabu, telah kau
dengarkan sebagian kisahku dari hembusan bayu. Maka tunggulah tibaku menerpa
wajahmu, menyesapkan damai dalam hatimu.
*****
Kolaborasi: Granito & Reni
Irsyam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar