(Di keheningan malam, sosok laki-laki itu datang. Angin mendesir, menebar aroma kembang.)
.
“Andi….apakah itu kamu, Andi…?”
“Selamat malam Nisa. Aku datang Nisa. Aku datang ingin melihatmu.”
“Oh Andi, aku gemetar melihatmu. Tapi aku senang kau datang juga akhirnya. Aku pikir kau lupa padaku.”
“Aku rindu padamu, Nisa. Tiga bulan lebih tak dapat melihatmu. Aku tak tahu caranya. Baru ini, bisa menjengukmu.”
“Iya, aku mengerti, akupun kangen padamu. Walau ternyata tidak semudah
bayangan semula, kita sudah lain dimensi bukan? Bagaimana kabarmu,
Andi?”
“Aku cemas akan dirimu, Andi. Aku gelisah menunggumu, beberapa bulan ini.”
“Sejujurnya aku kini merasa, semuanya ringan bagai sehelai bulu. Dan aku
rasa, kau tak usah merisaukan keadaanku. Kini aku bisa senantiasa
mendatangimu, kapan saja kita rindu ingin bertemu.”
“Ah, kau memang laki-lakiku, kau masih kekasihku. Temui aku kapan saja,
jika kau mau. Aku selalu disini dan tentunya hanya untukmu, bukan untuk
siapa-siapa lagi. Hanya untukmu, kasih…”
.
(Awan kelam, rumah tua lebat ilalang. Suara dua bayangan hitam, membuat lelawa terbang.)
.
“Nisa, aku suka mendengarnya, namun entah kenapa ada sejumput rasa
bersalah pada diriku. Aku memang dapat menjenggukmu setiap waktu, tapi
sudah saatnya kau melakukan segala yang harus kau lakukan. Seperti
seharusnya fitrah hidup dan mati.”
“Aku tak mengerti, baru saja kita berjumpa. Haruskah kita berpisah lagi?
Bukankah kau yang menghendaki begini? Aku ingin selamanya bersamamu.”
“Melihat dirimu seperti ini, aku jadi berpikir ulang, agar kau menempuh
jalan yang sesungguhnya. Aku mencintaimu, namun aku tak membuatmu
tenang. Bahkan untuk tersenyumpun kau sulit, aku paham, telah salah
menempuh cara. Maafkan aku, Nisa”
.
(Rembulan padam, tiga kali jam berdentang. Malaikat memberi salam, kilau sabitnya kini membentang)
.
“Aku menurut saja, apa yang kau mau Andi. Seperti dulu, kau sajalah yang
menentukan. Aku hanya ingin kita sama-sama bahagia, dalam keadaan
apapun dan dalam bentuk apapun.”
“Ya, justru aku ingin membuatmu bahagia. Melepasmu dari segala kepalsuan
dan penantian akan diriku. Dan aku akan pergi pula dengan tetap membawa
cinta kita. Aku yakin kita akan bertemu lagi, saat nanti aku mati, lalu
hidup bersamamu dalam dimensi yang abadi. Aku janji.”
“Sungguh kau manis, kekasihku. Jika itu maumu, silahkan kau bebaskan
aku. Berjalanlah kita pada dunia masing-masing, hingga suatu saat nanti
menjadi satu seperti yang kita mau. Sekarang akupun akan pergi, sesuai
kehendakmu. Kasihku, cabutlah paku ini dari kepalaku!”
.
(Di keheningan malam, sosok wanita itu pergi melayang. Angin mendesir, menebar aroma kembang.)
.
.
*****
.
.
Granito, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar