oleh: Granito dan Je Zee
Dan buatku cinta itu berderai tanpa tepi, tanpa henti…
Kau
bercerita tentang ikan-ikan salmon menempuh jauh, bertelur di air
payau. Tentang kupu-kupu mencumbu kembang lalu berkejaran dengan
kupu-kupu lainnya. Kaubilang ada bahasa, mungkin isyarat, tentang
gelombang desibel yang hanya dimengerti “sang penerima”. Serupa jejak
pulau dan benua: beberapa terpecah serupa mozaik, sebagian lainnya
berdekapan hingga menjulang pegunungan. Kau mengatakan demikian, tentang
apa yang kaupikir berjauhan, dapat saja bertemu, menjadi utuh
menyeluruh, untuk ribuantahun kemudian.
“Jarak mencipta
antara. Bagai bintang yang seolah berdekatan, namun nyatanya terpisah
ratusan tahun cahaya. Tapi ini bukan tentang ilmu pasti. Ada
ketidakpastian yang tak mampu dijawab otak kiri. Ada ketidakpastian yang
pasti. Katakanlah tentang senyawa. Apa yang kau pikir tentang itu?”
Sekali
lagi, ini bukan tentang kimia. Bukan tentang asam basa. Tak serumit
molekul dan unsurnya. Kautahu, ini sederhana saja bagiku: aku, kamu,
menjadi satu dan sejiwa. Aku meyakininya. Kau percaya? Lalu kau dan aku
membentuk kita. Kita senyawa, tak peduli unsur asal ikatannya. Saling
percaya, bahkan atas apa yang tak mudah diterima logika. Padahal,
sebelumnya aku hanya setengah. Tercecer sisanya entah di mana. Lalu
Tuhan memberi dirimu sebagai hadiah, mengisi yang seharusnya.
Aku luka, kau rasa. Pahit getirmu, aku cecap juga. Dan aku bertanya pada sebelahku, separuhku; seperti saat kaki tertusuk duri, yang sebagian lagi ikut nyeri. Serupa hati yang merasa sakit; bibir pun ikut menjerit. Senyawa itu, meski tak saling dekat tapi saling bertukar rasa. Walau ada sebentang jauh, tapi utuh meluruh, sepenuh.
Kau
lihat, awan-awan mengandung uap lalu mencair. Jatuh derai-berderai bagai
air mata membasahi bumi, menjadi mata air mengalir ke kelok sungai.
Beriak di antara bebatuan. Sebagian tetesnya tergenang di danau, lainnya
lagi berlarian hingga muara:tawar dan asin bertemu tempat bakau menebar
akar. Beberapa lagi berjalan kelaut menjadi ombak, beruap-ruap,
bulirnya berdenyar-denyar hingga ke udara berangin. Lantas mentari
membawanya kembali ke langit. Putaran nitrogen, senyawa dan oksidasi,
demikianlah persetubuhan alam, dan kita ada di sana.
Begitu
pun tubuh kita, tersusun dari bermacam sel-sel yang mirip kepingan
puzzle. Tersusun rapi, saling membagi fungsi, melengkapi. Juga bagaimana
aku melihat dengan mata, lalu pikiran menerjemahkan. Semua terjadi
bukan tiba-tiba bukan? Ada jalinan dalam tubuh yang berhubungan antara
satu dan yang lain.
“Dan jika aku membagi separuh
tubuhku denganmu, juga sebaliknya, mungkin mirip okulasi. Masing-masing
mempunyai sifat alaminya, dan sebagian membawa sifat yang baru. Tapi,
aku bernafas dari jalan yang sama denganmu. Aku melihat dari tempatmu.
Juga hidupdari denyutan di balik rongga dadamu.”
Maka,
apabila kau melihat warna-warni, apakah kau tahu di mana kah letak
sesungguhnya warna itu? Pada mata kita atau di benda itu, atau berkelana
begitu saja di awang-awang pikiran? Sebab ketika cahaya sirna, lenyap
pula sang warna. Jika kau pejamkan mata, hilang ia tanpa bekas. Aku
berpendapat, warna adalah kerjasama antara mata, spketrum cahaya dan
benda.Seperti pula sang cinta menjelma: Ia ada sebab hatimu dan hatiku
melahirkannya, dan andai salah satu menolaknya, maka hilanglah cinta
menjadi nada-nada hujan sore, berjatuhan, meresap ke dalam tanah,
kemudian menjadi masa lalu.
Maka, di Februari ini,
menyenarai pertemuan kata-kata yang diucapkan maupun tidak, tentang esok
hari, juga selanjutnya. Kata-kata yang berasal dari kamar kalbu yang
kita tak tahu bagaimana itu terjadi, namun dapat kita rasa dan terhela
dari nafas. Nafasmu dan nafasku.
Ketika kau melafalkan
rindu dan menembus setiap pori-poriku, gendang telingaku menangkap
getarnya, begitu pula saat hatimu menggumam namaku. Bukankah kita padu?
Aku berterimakasih dengan segala yang telah membuat kita satu. Karena
buatku, cintai ada tanpa karena, tanpa jika, tanpa walau, tanpa tapi.
Dan
buatku cinta itu berderai tanpa tepi, tanpa henti. Asal kita tetap
menjaganya di hati dan pikiran: tempat segala rasa lahir mengalir.
Aku menjaganya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar