Mawar merah dan putih. Berjatuhan kelopaknya membawa embun air mata. Satu-satu bulirnya terhisap tanah dan rerumputan. Beberapa hinggap di atas secarik surat yang tergenggam, lalu merah dan putihnya padam.
Ini malam minggu. Aku tak tau siapa yang musti kutunggu. Jarum jam
bertopang dagu. Waktu jadi bisu, gagu. Aku telah merdeka dari rindu yang
membelenggu, bebas dari kangen yang kerap mengganggu. Namun setelah
berminggu-minggu, aku jadi ragu. Apakah kebebasan ini adalah kebebasan
yang aku inginkan? Apakah kesendirian ini membahagiakan, atau malah
menjerumuskanku pada kesunyian? Tidak ada angan-angan, tidak ada merdu
nyanyian. Semuanya terasa begitu perlahan, mematikan. Hanya kesepian yang
berjalan, di antara gumpalan awan-awan pikiran. Lantas kekosongan
mengisi rongga perasaan.
Surat-surat yang kau berikan, sudah lama aku bakar. Sebelum kenangan
akan dirimu akan menjalar. Dan gambaran wajahmu menebar, bagai air yang
masuk pada akar. Lalu pikiranku dipenuhi jalinan belukar membuat dadaku
berdebar. Tanganku gemetar, dan kemana aku akan bersandar? Sekarang,
semuanya begitu datar, datar dan datar. Matamu yang penuh binar, bibirmu
yang merah mekar, dulu aku melihatnya setiap saat bulan cerah
berpendar. Suaramu yang indah selalu kudengar, begitu indahnya seolah
dunia ini berhenti berputar. Suara yang kini tak pernah kudengar, meski
kubuka telinga ini lebar-lebar.
Aku rindu kamu, maka hari ini aku datang. Membawa mawar merah dan putih
kesukaanmu, aku lama tak mengunjungi tempatmu. Aku lihat tempatmu kini
ditumbuhi rumput-rumput liar, dedaunan yang mengering dan serpihan sayap
serangga. Namamu kini tertulis indah di batu berwarna keemasan, nama
yang selalu kukenang. Apakah kau merasakan sepi? Apakah kau merasakan
kesepianku? Pertanyaan itu selalu terlontar tatkala aku melihatmu lagi.
Kamu yang kini berbaring tak dapat berdiri, tak dapat memeluku seperti
sesaat sebelum kau tinggal pergi.
Aku membawa surat untukmu, surat yang belum pernah kau baca. Tapi aku
yakin kau dapat melihatku dan mendengar suaraku, ini surat doa hanya
untukmu. Aku ingin kau tenang, setenang embun di dedaunan. Perlahan, aku
menebar mawar merah dan putih ke atas tanah. Kelopak demi kelopak,
berhamburan, dari wajahmu hingga kaki. Angin membantunya menyebar wangi,
matahari menembus warna kelopak bebungaan.
Baru saja ingin aku bacakan surat ini, aku merasakan kelopak-kelopak
mawar itu jatuh ke atasku pula, begitu lembut dan menyejukan. Dari
wajahku hingga kaki. Samar-samar aku dapat melihat kepingan warna itu
menghujaniku, bagai gerimis pagi yang penghabisan. Aku dapat pula
mendengar lirih suara-suara. Suara-suara yang melantun baris-baris doa
perlahan. Ada suaramu diantaranya, hingga aku sadar bahwa kini akulah
yang sendirian. Suara-suara itu dan suaramu, menghilang tak lama
kemudian. Lalu semuanya menjadi gelap dan pengap, aku lantas terlelap.
Secarik surat untukmu masih di dadaku, erat kudekap.
Mawar merah dan putih. Berjatuhan kelopaknya membawa embun air mata.
Satu-satu bulirnya terhisap tanah dan rerumputan. Beberapa hinggap di
atas secarik surat yang tergenggam, lalu merah dan putihnya padam.
*****
hehe,,ketemu disini,apa kabar mas??
BalasHapustetep ya,kata2nya menggugah selera untuk dibaca...^^
eh, mbak... apa kabar?... sori telat banget reply-nya
Hapussalam ya