Dua bangku satu meja, café ini kesepian.
Dua bangku satu meja, dia duduk dan aku di seberangnya. Café ini
kesepian, hanya sederet bangku kosong dan meja-meja dingin. Dia, aku dan
dua cappuccino. Empat puntung rokok, dua di antaranya merah bekas
lipstiknya dan asbak bening yang mulai menguning. Hujan baru reda, hawa
dingin merambat teras café. Dua bangku satu meja, dia duduk terdiam
bisu dan aku teronggok gagu. Café ini kedinginan. Harusnya aku cepat berkata I love you, sebelum si tomboy kabur.
Dua cappuccino hangat memperlambat semuanya. Makin gagu, makin bisu.
Dia duduk dan aku di seberangnya. Hujan baru reda. Teras cafe tergenang
bulan biru. Enam puntung rokok, asbak bening kekenyangan. Harusnya aku cepat berkata I love you, sebelum si tomboy kabur.
Harusnya aku membuka percakapan. Tentang
foto itu, semisal. Bahwa foto itu merekam semua yang terjadi, yang
telah terjadi dua puluh tahun yang lalu. Kala dia mengatakan padaku akan
menikah dengan sesorang. Namun dia tak mengatakan bahwa itu akibat aku
yang terlalu lama membiarkannya dalam kebimbangan dan penantian yang
seolah-olah sia-sia. Namun pula dia tak menyalahkan aku yang memang
membiarkannya dalam lautan berombak kacau, hingga hatinya seperti perahu
kertas turun-naik dimainkan gelombang, lalu koyak dan tenggelam.
Hujan kembali turun, menggulung bayangan
bulan biru. Tiba-tiba kami terlempar ke masa lalu, saat perkuliahan
selesai. Pada waktu itulah aku dan dia menghabiskan waktu dari pagi
hingga pagi lagi. Saling bercerita tentang rencana kami: kelak akan
menikah, tinggal dalam satu rumah idaman yang telah aku beli. Dia
memilih beberapa perabot dan peralatan dapur. Aku memilih lukisan dan
beberapa lampu meja. Sebuah tempat tidur besar sudah pada tempatnya.
Sungguh besar, memuat aku dan dia juga calon anak yang barangkali saja
akan cepat kami miliki.
Dia memang tomboy, tapi bukan tipe yang
tak menginginkan anak. Bukan pula tipe wanita karir yang waktunya habis
di tempat kerja. Pada dasarnya dia tipe perempuan rumahan. Seperti
Ibuku. Seperti kakakku. Aku dikelilingi perempuan rumahan yang setiap
saat merawatku dan rumahku. Dan kami berdua punya satu sifat yang sama:
jarang bicara. Sulit menggunakan kata-kata, jarang memakai suara untuk
menjelaskan sesuatu. Kecuali ketika waktunya kami harus pisah.
“Aku harus pergi..”
“Kamu serius?”
“Iya…Gak apa-apa ya?”
“Hahaha….ya mau apalagi? Udah keputusan kamu, aku gak bisa halang-halangi..”
“Aku perlu karir buat kita, buat masa depan kita..”
“Iya…” Dia menganggukan kepala lalu tertunduk.
Dia, aku dan dua gelas bekas cappuccino.
Harusnya aku membuka percakapan. Tentang mengapa hari itu aku
meninggalkannya. Kenapa keputusanku untuk bekerja di kantor iklan
menyebabkan aku ditugaskan jauh di benua sana? Setahun, dua tahun, tiga
tahun setelahnya, aku balik ke Indonesia. Di rumah itu, di tempat tidur
besar itu, sepucuk surat dari dia di sana.
Hujan semakin besar, curahnya membasahi
sekeliling dan sebagian air masuk dari jendela café. Beberapa percikan
mengenai tanganku, mengingatkan air matamu yang pernah turun. Membasahi
lenganku hingga aku berkata I Love You, lantas dia pergi dan tak pernah kembali. Sepucuk surat masih di tanganku bertuliskan I Love You always and always, but I have to go.
Dua bangku satu meja, café ini kesepian.
Dua bangku satu meja, dia duduk dan aku diseberangnya. Café ini
kesepian, hanya sederet bangku kosong dan meja-meja dingin. Bayangan
dia, aku dan dua cappuccino. Satu cangkir telah kosong, satunya lagi masih penuh namun telah lama dingin.
*****
Granito, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar