Sayap Merpati




Pagi ini Nindi termenung membaca sms di ponselnya. Jantungnya berdebar keras, sekelumit galau singgah di hatinya. Ia tidak mengira selama ini, Profesor Ratno, dosen yang mengajarnya memberi perhatian lebih. Nindi, gadis manis dan cerdas, namun beberapa kali gagal membina hubungan dengan pemuda seusianya. Bukan karena dia pemilih, manja atau centil, hanya saja ia merindukan sosok seorang ayah sebagai kekasih. Dewasa, sabar dan mapan.

Begitulah yang ia cari selama ini. Apakah ia harus membalas sms ini? Sekilas bayangan pria setengah baya melintas di benaknya. Wajah tampan dengan penampilan elegan. Kemeja lengan pendek tak pernah lupa dipadukan dengan dasi serasi berkalung di lehernya. Senyumnya menawan. Nindi tak mungkin menafikan kharisma beliau. Siapa sih di kampus ini yang tidak terpukau pesona Pak Ratno?


Nindi betah berlama-lama menghabiskan jam kuliah bersama Pak Ratno. Tapi tak pernah terpikir kalau dosen itu menaruh hati padanya. Sekali lagi Nindi membaca sms itu. Masih dengan jantung yang berdegup kencang. Debaran halus itu menyusup juga ke relung hatinya. Pak ratno mengajaknya makan malam bersama akhir minggu ini. Nindi tersenyum sendiri, membayangkan dirinya berjalan berdua dengan pria setengah baya itu. Angannya melayang jauh, dan tanpa sadar ia telah mengetikkan huruf-huruf di ponselnya. Mengiyakan ajakan Pak Ratno. Apa salahnya di coba, gumam Nindi lirih.


Bunga kamboja berkembang, menandai matahari mengusir mendung yang selama ini menerpa kota Bogor. Prof. Suratno yang biasa dipanggil Pak Ratno sedang menyiram tanaman bonsai di halamannya. Pria setengah baya ini masih terlihat sehat, rapih dan bersahaja. Sorot matanya tajam berbinar, membuatnya nampak 10 tahun lebih muda. Sambil mengamati pepohona mungil itu, pikirannya menari-nari. Sosok wanita yang selama ini dia cari membuatnya terperangah. Bertahun-tahun ia sibuk dengan segala urusan civitas akademika melewatkan kesempatannya untuk membangun mahligai rumah tangga.
Dulu ia berpikir tak butuh wanita di sisinya. Setelah cinta pertamanya kandas di awal semester pertama. Ia menutup hati rapat, tak memberi celah sedikitpun untuk cinta yang datang menghampirinya. Hari-harinya sibuk di laboratorium, mengejar mimpinya untuk menjadi seorang profesor. Kini ia baru merasakan ketidak sempurnaannya. Gelar tidak mampu mengisi kekosongan hati yang selama ini berusaha ditutupinya. Tetap saja lubang itu menganga, menanti seseorang yang pantas untuk menutupinya utuh.

Malam purnama, Nindi bergegas berpakaian, rambutnya dikuncir seperti buntut kuda poni. Tak sabar rasanya bertemu laki-laki yang selama ini diam-diam ia kagumi. Bagai terlempar ke pelangi, kalbunya terisi nada-nada romansa. Motor berwarna merah muda, ia pacu kuat-kuat, seperti putri raja yang melarikan diri dari istana.

Pak Ratno menunggunya di sebuah café sederhana yang artistik, pernak-pernik antik dan lampu-lampu temaram mengelilingi. Malam ini adalah pertemuan dua insan dengan latar belakang yang sungguh berbeda. Bulan putih keperakan bersinar menjadi saksi benih-benih asmara yang tumbuh. Nindi tiba dengan perasaan campur baur, antara keraguan dan harapan, melebur bersama.

Sang professor menunggunya di sudut café, setengah cangkir cappuccino belum berhasil mengenyahkan dentuman hatinya. Pak Ratno memandangi sisa capuccino di cangkir coklat porselen. Perasaan cemas yang melanda membuatnya takut meneguk habis minuman hangatnya. Tiba-tiba jantungnya seperti berhenti berdetak. Sesosok makhluk manis dengan celana jeans biru muda ketat, di padu blues longgar berlengan balon membalut tubuhnya yang langsing. Pak Ratno terkesima memandangi wajah cantik di depannya, sapaan Nindi mengagetkannya “Malam..Pak ,eh..Mas” ujar Nindi kikuk.

“Malam Nindi, mari silakan duduk” jawab Pak Ratno tidak kalah kikuk. Nindi merebahkan tubuh mudanya di kursi kayu berukir burung merak, dihadapannya meja mungil beralas kain motif bunga. Lilin kecil menghiasi, cahaya memantulkan wajah pria setengah baya yang menatapnya sedikit malu. “Nindi, kamu manis sekali malam ini…” Pak Ratno membuka percakapan.

“Saya tidak ingin berpanjang kata, hidup saya begitu kering. Maukah kamu mewarnai hari-hari yang selama ini saya tempuh sendiri?” Tangannya melambai kepada waitress café. Secangkir teh poci disiapkan khusus buat Nindi. Pak Ratno sudah mengetahui kesukaan gadis ini, dari seorang mahasiswa, teman dekat Nindi. Hati Nindi serasa menghujam ke dasar bumi mendengar ucapan laki-laki di depannya. Bibirnya tak kuasa menebar kata-kata. Ia hanya mengangguk dan tanpa terasa, sebutir air mata terbit di ujung matanya.

Pasangan beda usia itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Nindi sesekali mencuri pandang pada lelaki di hadapannya. Ia mencoba tanyakan kembali hatinya. “Benarkah ini pria yang selama ini diidamkannya?” Nindi mencoba membayangkan reaksi teman-temannya saat mereka tahu hubungan mereka. Chika si biang gosip akan menjadikan cerita ini sebuah sensasi hebat. ” Nindi pilihan profesor lajang”. Ia juga membayangkan bagaimana panasnya Ratih terhadapnya, bahkan akan mungkin menyemprotnya dengan kata-kata kasar. Ratih yang bersusah payah mencoba mencuri hati Pak Ratno, sijangkung ratu kampus itu bahkan tak di lirik sang profesor.

Nindi membiarkan perasaannya larut dalam lamunan. Ia menikmati setiap detik yang di lewatinya bersama Pak Ratno malam ini. Inilah yang terindah yang dirasakannya. Nindi merasakan hidupnya lengkap. Dan akan selalu begitu saat ini dan untuk selamanya. Pak Ratno tak bisa melukiskan hatinya saat ini. Meskipun usianya sudah 53 tahun, pertemuan dengan Nindi membuatnya kembali muda. Seluruh gairah dalam dirinya membuncah. Ia benar-benar bahagia. Malam ini ia akan tidur dengan mimpi yang sangat indah bercumbu bersama kekasih barunya.

*********

Bunyi langkah kaki seorang perawat tergopoh membawa infus ke ruang bedah. Di ruangan itu menjerit seorang wanita muda bersimbah darah. Sementara, Pat Ratno duduk gelisah di ruang tunggu. Mulutnya menggumam doa, memanjatkan rintihan pada sang Ilahi. Ia sadar suatu kehampaan mengurung dirinya, ketidak berdayaan membelenggu, sekilas ia mendengar suara yang sangat dikenalinya dari ruang bedah. Ya, itu jeritan istri tercintanya, Nindi. Mengandung seorang bayi yang kini seharusnya sudah lahir, namun di kamar berdinding putih itu, istri kecintaanya sedang meregang nyawa. Nindi mengalami pendarahan hebat. Dokter bilang secepatnya Nindi harus di operasi. Lemas tubuh Nindi terkapar di atas ranjang diruang itu. Ia menggigil menahan dingin. Dokter menyuntiknya di punggung bagian belakang, rasanya sakit sekali. Sesaat ia masih mendengar suara percakapan. Kemudian hening hanya pompa tensimeter dokter anestesi di sampingnya memegangi tangan sebelah kiri yang didengarnya. Sayup kemudian Nindi merasakan tubuhnya kaku. dan iapun tak sadarkan diri.

Bebeapa jam berlalu, Pak Ratno meremas jari-jarinya. Ingin tahu apa yang terjadi dengan istri dan calon bayinya. Airmatanya meleleh. Perawat keluar membawa sorang bayi mungil yang sudah bersih. Ia lantas berdiri menerima dan mencium bidadari kecilnya.
“Bagaimana istri saya Dok?” tanyanya penasaran. Sang dokter menatapnya dengan perasaan kosong. “Maaf pak, kami gagal menyelamatkan Istri Bapak, Ia terlalu banyak mengeluarkan darah. Kami sudah berusaha sekuat tenaga. Tetapi Allah berkehendak lain” ujar dokter menjelaskan.

Pak Ratno terpekur sedih, ia berlari ke ruang bedah. Menyaksikan istrinya yang terbaring kaku tak bernyawa. Dengan tatapan kosong dan hati yang teramat pilu, ia ciumi jasad wanita yang telah menemaninya beberapa tahun terakhir ini. Suara tangisan bayinya dari ruang rawat menghentak jantungnya. Dengan terpukul ia berbisik di telinga kekasihnya

“ Sayang, selamat jalan. Aku akan menjaga dan merawat buah cinta kita. Tunggu kami di surga.” Lalu menutup tubuh pucat itu dengan kain tipis.

******

Beranda rumah Profesor di hiasi pohon kamboja, jika pagi menjelang, sinar matahari masuk di sela-selanya. Sejak Aninda lahir, seekor merpati selalu hinggap di pohon itu. Mengepak sayap dari dahan ke dahan, lalu menghilang di siang hari.
Wajah Aninda selalu tersenyum jika melihat mahluk bersayap putih itu bertengger di pepohonan. Pak Ratno mengerti Nindi tak pernah meninggalkannya seorang diri. Kehadiran kepak sayap merpati selalu menemani setiap pagi, secerah hari berganti. Sepanjang kasih cinta abadi mereka.



Kolaborasi : Granito Ibrahim  & Fitri Yenti 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar